10. malu?

295 107 6
                                    

Hari berikutnya, pagi-pagi aku sudah siap dengan baju panitia yang kukenakan dengan rapi. Tak lupa, kugantungkan badge name dileherku, layaknya seorang panitia dengan dedikasi yang menggebu-gebu dalam jiwanya.

Pagi ini aku bertugas diruangan lomba olimpiade, memberikan kue kotak kepada seluruh peserta lomba juga kepada para dewan juri yang terhormat.

Semalam kak Fatih sedikit memberiku pencerahan tentang besarnya makna tanggung jawab, mungkin karna itu pagi ini hatiku terkuak oleh sebongkah cahaya yang membuatku ingin menyelesaikan tugas yang menjadi tanggung jawabku semaksimal mungkin.

Dengan senyum yang merekah, ku sapa setiap orang yang ku lewati dengan ramah, memberikan senyuman, menyebarkan aura positif untuk memulai hari dengan ceria.

"Tumben on time" kak Rio yang pagi ini juga bertugas bersamaku terlihat rapi dan gagah. Senyuman miring khasnya mampu membuat kaum hawa seperti semut yang mengelilingi gula. Tapi diantara semut-semut itu, aku adalah semut aneh yang tidak peduli dengan gula yang berjatuhan karena aku memiliki gula lain yang menjadi pusat perhatianku.

"Tanggung jawab itu nomor satu, kak. Harus diselesaikan semaksimal mungkin. Biar bisa menjadi orang yang dipercaya dan bertanggung jawab." Aku berceloteh sambil terus sibuk menyusun kue kotak ke atas meja yang kini ikut dibantu oleh kak Rio.

"Baru ngerti kamu?" Sinis kak Rio yang membuatku mendengus sebal.

"Baru mau mengerti."

"Bagus deh kalau gitu." Kak Rio sangat telaten dengan kerjanya.

"Ini tolong dibawa ke ruangan osis ya!" Titah kak Rio kepadaku, sambil menyerahkan seplastik kue kotak yang lebih dari tempat kami bertugas.

Aku mengangguk patuh, lantas membawa kue-kue itu menuju ruangan osis.

Eeiittss...

Tunggu sebentar.

Ruangan osis?

Aku tidak salah dengar kan?

Pasti kalian tau apa yang ada dipikiranku tentang ruangan osis. Yap, Julian. Nama Julian seketika berhembus diotakku. Menghentikan detak jantungku yang sedari tadi bekerja sebagaimana mestinya.

"Kok berhenti? Kenapa?" Kak Rio yang menyadari bahwa langkahku telah terhenti tepat didepan pintu ruangan tempat kami bertugas, langsung menghampiriku.

"Kalau kakak aja yang bawain, boleh nggak? Tiba-tiba aku mules, deh." Cengiran muncul di bibirku.

Kak Rio menautkan kedua alisnya. "Yaudah sekalian aja, disana juga ada kamar mandi kok."

"A..a..anu kak. Eemmm."

"Kakak harus periksa ulang data peserta buat makan siang nanti. Jadi tolong kamu aja yang bawain ya."

Akhirnya aku mengalah, cengiranku sirna. Detik itu juga aku kembali melambungkan satu permohonan kepada semesta, tolong jadikan aku tak kasat mata agar Julian tidak bisa melihatku serta kembali mengingat kejadian dilapangan kemarin. Ah sungguh malu rasanya.

Setelah kejadian dilapangangan itu rasanya aku ingin menjadi kupu-kupu yang lumpuh saja, karna malu untuk bersitatap dengan bunga yang harum nan indah.

BALASAN [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang