16. alasan

236 65 7
                                    

Julian memegang pop ice pemberianku sambil menatapnya lekat, lantas ia berjalan menuju tempat sampah yang berjarak sekitar 3 atau 4 meter dari kami.

Tak perlu lagi kan aku tuliskan hal apa yang selanjutnya Julian lakukan didepan tempat sampah itu?

Iya, benar. Dia membuangnya begitu saja.

Hatiku yang sedang terbang bersama awan seketika langsung terjatuh karena bertabrakan dengan harapan yang ketinggian.

Aku melotot melihat tingkahnya, kali ini dia kelewatan, tidak bisakah dia menghargai pemberianku, aku tidak pernah memintanya menghargai atau bahkan membalas persaanku, hei! Aku hanya memintanya menghargai pop ice itu, bukankah kelakuannya itu mubazir? Aku tidak suka itu.

"Kamu apa-apaan, sih? Kok malah dibuang? Itu mubazir, Julian!"

Julian yang sudah kembali berdiri menjulang didepanku hanya melirikku sebentar tanpa berniat membalas ucapanku.

"Kamu nggak pernah diajarin caranya menghargai? Bahkan sekedar menghargai pemberian orang kamu juga nggak bisa?" Aku menjeda perkataanku, lantas melipat tangan didepan dada, "jadi dimana, sih letak kewibawaan seorang Julian yang sering diperbincangkan banyak orang, kalau sekedar menghargai aja nggak bisa." Suaraku sedikit ketus kali ini, baiklah, aku terima jika dia marah setelah ini, aku hanya sedang tidak bisa menahan emosiku yang meluap atas tingkahnya yang semena-mena.

Julian memandangku sinis, "gue nggak pernah minta siapapun untuk menganggap gue orang yang berwibawa, jadi omongan siapapun itu nggak ada sangkut pautnya sama gue."

"Okay, aku ngerti. Tapi apa kamu nggak bisa menghargai pop ice itu sebagai minuman? Aku nggak minta kamu menghargai pemberian aku, aku cuma minta kamu menghargai minuman itu, udah itu aja enggak lebih, bahkan aku nggak pernah minta kamu buat ngebalas perasaan aku kan?" Emosiku semakin meluap kali ini.

Julian tersenyum sinis.

"Apa lo mau tau alasannya kenapa gue nggak pernah bisa menghargai atau bahkan nggak pernah bisa menganggap lo ada?"

Aku terdiam, tidak mengangguk juga tidak menggeleng. Jujur, pembicaraan sejauh ini bersama Julian tidak pernah ada didalam setiap bayanganku.

Hening, bahkan suara angin berhembus pun tak lagi masuk ke telingaku.

"Karena lo diam, maka gue anggap jawabannya iya, gue anggap lo mau tau alasannya."

Julian mendekat ke arahku. Memegang kedua bahuku dengan erat. Aku membeku, sekujur tubuhku kaku seketika, darahku tak lagi mengalir karena jantungku yang tersentak dan berhenti bekerja untuk sepersekian detik.

Apa kalian juga sepertiku ketika pertama kali disentuh oleh orang yang kalian cinta, cinta pada pandangan yang pertama? Atau apa aku saja yang terlalu lebay menanggapinya?

Ah, entahlah. Yang pasti aku hanya ingin menghentikan waktu, agar Julian tidak melepaskanku, meski aku tau ini bukanlah momen romantis yang harus diabadikan tapi setidaknya sekarang aku merasa kupu-kupu berterbangan didalam perutku.

Okay, aku tahu ini berlebihan.

Julian menunduk, mendekatkan bibirnya dengan telingaku. Aku bergedik geli. Mau ngapain curuk yang satu ini?

"Gue cuma punya satu alasan kenapa gue nggak akan pernah bisa balas perasaan lo, juga kenapa gue nggak akan pernah bisa menghargai lo, pun kenapa gue nggak pernah mau mengganggap lo ada." Julian menarik napas dalam-dalam, "alasannya simpel, yaitu Daniel."

Julian menarik wajahnya dari telingaku.

Menepuk kedua bahuku yang sempat dipegangnya beberapa saat lalu, lantas beranjak pergi dari hadapanku. Tubuhku yang sempat membeku dihadapannya kini merosot jatuh tepat setelah ia mengucapkan alasannya, sebuah nama yang berhasil melemparku jauh kedalam lubang masa lalu.

BALASAN [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang