Entah ini pilihan yang tepat atau tidak. Semenjak hari dimana aku bertengkar dengan Yoongi di dalam mobil, aku berusaha untuk tidak menunjukkan diriku. Aku berusaha menghindar dan bersembunyi bila Yoongi datang dari pekerjaannya yang aneh itu.
Ya, memang aneh, dia menulis lagu atau sebenarnya keluyuran setiap hari. Bahkan dia memiliki peralatan produksi lagunya, mengapa harus setiap hari dia pergi ke gedung Bighit.
Aku sedari tadi termangu, terduduk di bawah, bersandar pada sisi tempat tidurku. Memandang seluruh kenyataan yang membuatku terluka. Bahkan ini sudah hampir seminggu, namun sekali lagi aku tidak berniat menyentuh apapun yang berhubungan dengan Yoongi, termasuk ponsel pemberiannya.
Aku hanya tidak bisa untuk mendapatkan panggilan dari kedua orang tuaku. Aku hanya takut bila mereka mempertanyakan pertanyaan yang akan sulit ku jawab nantinya.
Aku merasa kebingungan, tidak tahu harus melakukan hal seperti apa lagi. Aku lelah, sungguh. Selama tiga hari aku menangis, tidak pernah berhenti untuk mengeluarkan air mata dengan suara tangis yang sengaja ku tahan. Ini terasa sangat sesak.
Lantas aku memutuskan untuk sejenak berdiri, mungkin aku akan beralih keluar dari kamarku untuk menyegarkan kerongkonganku dengan segelas air. Aku memang belum minum sejak tadi pagi hingga sudah malam seperti ini. Aku tidak bisa berpikir apapun lagi dengan wajar. Perasaanku kacau, berantakan.
Tepat setelah aku menginjak ambang pintu, aku tidak sengaja mendengar ketukan dari pintu luar. Terdengar sangat tergesa-gesa, seperti memaksa aku untuk segera membukanya.
Hingga aku juga begitu cepat berjalan menuju pintu utama, membukanya dan sesosok pria tidak asing berhasil mengejutkan ku dengan kehadirannya yang sangat tiba-tiba.
"Jungkook?"
"Astaga, Youra, kau membuatku khawatir. Mengapa kau sulit untuk aku hubungi? Kemana saja kau sejak hari itu. Kau baik-baik saja?"
Rentetan pertanyaan itu membuatku semakin sesak. Ada yang mendorong ku untuk mengeluarkan sesuatu di dalam sana. Desakan hangat dari air yang akan turun itu berhasil membuatku meringis. Aku segera menangkup kan wajahku, melindungi seluruh harga diriku karena sebenarnya aku sangat malu untuk menangis di hadapan Jungkook.
"Aku sakit, Jungkook." Gumamku, walau bisa saja Jungkook tidak mendengarnya karena yang paling mendominasi adalah isak tangisku yang pilu.
Aku tidak tahu mengapa. Hanya karena hal sepele, perdebatan kecil di dalam mobil saat itu membuat perasaanku semakin memburuk. Apakah aku terlalu berlebihan? Tapi rasanya sangat menyakitkan. Bagaikan perasaanku memang di bantah secara tidak langsung oleh Yoongi. Seakan Yoongi sangat mengutuk pernikahan ini.
Aku seperti penghalang bagi kebahagiaan dan kisah cinta Yoongi. Aku layaknya dinding yang membeku di hadapan Yoongi, sehingga pria itu tidak bisa merasakan cinta dari orang yang memang ia cintai dan itu bukan aku.
Aku bisa merasakan bahwa Jungkook memelukku, menenggelamkan tubuhku ke dalam kehangatannya. Dia bahkan mengusap punggungku, menenangkanku begitu teliti. Aku hanya mampu menangis dan semakin bersembunyi dibalik perlindungan kedua telapak tanganku.
"Kau sakit apa, Youra? Aku akan mengantarmu ke rumah sakit. Kau mau?" Ucap Jungkook kepadaku, namun aku tidak menjawabnya.
"Ibumu sampai bertanya kepadaku tentang keadaanmu. Kau menghilang sejak hari terakhir kita saling menghubungi. Ponselmu juga tidak aktif. Apa yang terjadi, Youra?"
Jungkook kembali bersuara, semakin mengeratkan rengkuhannya kepadaku. Aku lagi-lagi tidak menjawab apapun yang dikatakan Jungkook. Aku hanya tidak mampu untuk mengolah kata di dalam pikiranku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Trivia || Min Yoongi Fanfiction ✔
Fanfiction(END) Mungkin bagi kebanyakan orang semua hal yang berkaitan dengan perjodohan adalah menyakitkan. Sebatas kerja sama dua perusahaan atau sebatas kedua keluarga saling mengenal atau lainnya. Aku juga melakukan perjodohan, tapi kali ini kasusku berbe...