dok, dok, dok
Suara ketukan penghapus plastik ke papan tulis berwarna putih menarik atensi semua murid di ruang kelas yang terletak di lantai dua SMA Negeri 25 Surabaya itu.
Termasuk Arayuna Yustiara yang tengah menyelesaikan catatan dari mata pelajaran Bahasa Mandarin, yang terlaksana pada jam pelajaran kelima dan keenam.
Kini sudah memasuki jam pelajaran ketujuh dan kedelapan. Soraya yang merupakan guru mata pelajaran Matematika Wajib mengetuk papan tulis sembari menatap para murid dengan pandangan lesu. Dari ekspresinya, sepertinya wanita berusia empat puluh tahun itu akan mengumumkan hasil ujian tengah semester yang diadakan minggu lalu.
Yuna, nama panggilan gadis yang tengah mencatat di bukunya, terpaksa menghentikan gesekan antara pulpen dan kertas di hadapannya.
"Saya sungguh kecewa dengan kalian. Ini sudah semester dua kalian di kelas sebelas, dan nilai Matematika kalian tidak pernah ada yang lebih dari tujuh puluh," keluh Soraya.
"Berarti cara ngajar ibu yang salah," protes Henandra, salah satu teman sekelas Yuna yang lebih sering dipanggil Henan.
"Kalau cara mengajar saya salah, coba jelaskan mengapa Arayuna bisa mendapatkan nilai 96? Atau coba jelaskan mengapa Liliana bisa mendapatkan nilai 90?" tanya Soraya menyudutkan.
Mulut Henan bungkam, tak bisa lagi mengeluarkan protesan pada guru yang terkenal killer diseluruh penjuru sekolah. Dari anak kelas sepuluh hingga dua belas, semua mengakui betapa menyeramkannya Soraya.
Yuna mendesah lega saat mendengar nilainya disebutkan, lalu menepuk bahu Liliana yang merupakan teman sebangku sekaligus sahabatnya.
"Li, nilai kita," pekik Yuna girang, namun dengan suara yang sangat kecil agar tidak menarik atensi Soraya yang tengah 'mendongeng' di depan.
"Huaaaa we did it again Yun!" balas Liana, panggilan dari Liliana Tantri.
"Kita rayain yuk! Nanti abis pulang sekolah, di Pizza Hut ujung jalan," ajak Liana.
"Yah maaf Li. Hari ini aku harus pulang cepat, ibu nyuruh," ucap Yuna lesu.
"Eh ya ga papa kalau ga bisa hari ini. Jangan merasa bersalah gitu napa," ucap Liana.
Liana sebenarnya kecewa, karena Yuna jarang bisa diajak pergi jalan-jalan. Tapi Liana punya prinsip untuk tidak bersikap durhaka, yaitu harus menuruti perkataan orang tua. Apalagi Yuna hanya memiliki seorang ibu, berbeda dengan dirinya yang lahir di keluarga utuh dengan dua orang kakak yang siap menjaga dan melindunginya kapan saja. Tentu Liana harus merelakan keinginan jalan-jalannya dengan Yuna.
"Kita lanjutkan saja. Sekarang buka bab tiga yaitu peluang. Coba salah satu jelaskan apa itu peluang?"
Ucapan Soraya di depan kelas mengembalikan atensi Yuna dan Liana. Untuk saat ini, belajar giat dan meraih nilai yang pantas untuk memasuki perguruan tinggi terbaik di penjuru negeri adalah prioritas.
KAMU SEDANG MEMBACA
trash life | yunasung ✔
General Fictioncover by @lazynim orang dewasa selalu menganggap bahwa remaja hanyalah sekumpulan anak kecil yang menua tanpa mengetahui bagaimana kerasnya hidup, tanpa melihat kemungkinan lain bahwa kehidupan remaja bisa jadi lebih menyeramkan dari yang mereka bay...