"Yuna, ke kantin yuk! Mau makan bakso nih. Abis itu sekalian temenin aku ke mushola," ajak Liana, lima menit setelah bel istirahat kedua berkumandang.
"Pas banget aku juga mau makan bakso. Yuk!" ucap Yuna mengiyakan keinginan Liana. Hitung-hitung kompensasi karena kemarin tidak bisa pergi jalan-jalan bersama.
Sepanjang perjalanan menuju kantin, beberapa teman sebaya, adik kelas, dan kakak kelas menyapa Liana. Sahabat Yuna ini dikenal sebagai selebgram Surabaya. Temannya di mana-mana, jadi wajar kalau di sekolah pun banyak yang mengenal gadis dengan senyuman bak buah persik itu.
Berbeda dengan Yuna yang lebih suka menutup dirinya dari dunia luar. Walau di cap sebagai anak yang ceria, ia tidak begitu suka atensi berlebihan dari orang luar. Menurutnya, menjadi terkenal itu menyusahkan. Dan bisa jadi membongkar rahasia yang ia coba tutupi.
Teman-teman Yuna menganggapnya anak pintar yang terdampar di kelas non-unggulan dan memiliki orang tua kaya raya, terlihat dari ponsel, sepatu, tas, maupun barang-barang lain yang sering Yuna kenakan. Hal itu juga diyakinkan dengan kebohongan Dayana yang mengakui dirinya sebagai seorang business woman sukses, yang dipercaya begitu saja oleh pihak sekolah.
Yuna tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi apabila semua orang tahu tentang dirinya yang sebenarnya. Maka dari itu, Yuna sudah cukup puas walau hanya dikenal di angkatannya saja. Setidaknya Yuna tidak murni seorang outsider di sekolahnya.
"Tante Inah, bakso sapi-nya dua mangkuk ya. Satu campur, satunya lagi bakso halus sama gorengan aja dua. Sama es teh manis dua gelas," pesan Liana dari meja panjang dekat penjual bakso di kantin.
"Siap dek Liana," seru si pedagang, mulai mengerjakan pesanan Liana.
"You still remember my fave," ucap Yuna.
"Tiap mangan bakso yo pesanan mu mesti kek ngono, bakso alus tok karo gorengan, moso iyo aku lali," balas Liana yang duduk di seberang Yuna.
(Setiap makan bakso pesanan kamu mesti kayak gitu, bakso halus saja dan gorengan, masa iya aku lupa.)
"Lagian opo enake seh mangan mek bakso alus tok. Bakso urat lak enak pisan seh," sambung Liana.
(Lagian apa enaknya sih cuma makan bakso halus aja. Bakso urat loh ya enak.)
Yuna terkekeh pelan mendengar celotehan Liana. Gadis itu tidak tahu saja, Yuna selalu memesan sesuatu yang mudah untuk ia kunyah dan telan. Hidupnya sudah sulit, jadi Yuna tidak akan menyulitkan dirinya hanya untuk urusan makan.
"Nih pesanan kalian," seru Rama, anak laki-laki tante Inah yang membantu berjualan bakso.
"Makasih mas Rama," ucap Liana dan Yuna yang hanya dibalas senyuman simpul.
Keduanya tanpa ragu menyantap bakso yang sudah lama mereka ingin makan.
"By the way kamu kapan kosong? Kita kan belum ngerayain karena nilai uts pada bagus-bagus," seru Liana.
Yuna memutar iris kedua matanya ke arah langit-langit kantin, tengah menimang kapan sebaiknya ia dan Liana pergi keluar.
Hari ini sepertinya tidak masalah. Lagipula Dayana tidak menyuruhnya untuk pulang cepat seperti kemarin, menandakan bahwa wanita itu memenuhi janjinya pada Jinan.
"Nanti abis sekolah ya opo? Aku ga ada apa-apa entar," saran Yuna.
(...gimana? ...)
"Boleh banget! Aku tadinya juga mau ngajakin entar pulang sekolah, tapi takut kamu disuruh pulang cepat kayak kemarin lagi sama ibu kamu," ucap Liana.
KAMU SEDANG MEMBACA
trash life | yunasung ✔
General Fictioncover by @lazynim orang dewasa selalu menganggap bahwa remaja hanyalah sekumpulan anak kecil yang menua tanpa mengetahui bagaimana kerasnya hidup, tanpa melihat kemungkinan lain bahwa kehidupan remaja bisa jadi lebih menyeramkan dari yang mereka bay...