Mencintai dalam sepi, dan rasa sabar mana lagi yang tidak aku lakukan
Kamu selalu meninggalkan, lain kali kau harus tau rasanya ditinggalkan
•••Prilly turun perlahan dari motor Devan yang kini telah terparkir rapi di rumah minimalisnya. Langkahnya nampak lunglai, ia benar-benar merasa lemas. Ia bahkan masih gemetar, namun senyum tetap terpatri di bibir pucat pasinya. Perasaannya kacau, dan penyebabnya tidak lain tidak bukan adalah Ali. Ali, dan Ali. Prilly merasa matanya memanas. Devan menatap mata hazel tanpa binar itu, tatapnya terkemas kosong dan hampa. Prilly menatap Devan, berusaha memberi binar pada tatap kosongnya. Matanya pun sembab.
"Ma--ka-sih Dev.. " lirih Prilly terbata-bata. Dingin, rasanya dingin. Ia ingin luruh saja, saat ia tau sosok yang paling ia harapkan justru mengecewakan. Kristal bening tanpa sadar meleleh di matanya. Ia menangis, tanpa bisa ditahan. Pusing bahkan masih menderanya.
"Lo gak papa Prill? " tanya Devan serak. Hatinya merasa teriris melihat kacaunya gadis di hadapannya ini, gadis itu tampak rapuh dan kacau.
Prilly tersenyum. "Enggak papa. " balas Prilly. Tapi kristal bening tak henti-hentinya meleleh. Ia berbohong dan Devan paham itu.
"Jujur sama gue siapa yang ngelakuin ini semua? "
Prilly menggeleng, "aku kepeleset Dev. " alibinya.
"Gue gak terima bualan lo Prill. Jangan nutupin kesalahan yang dilakuin teman gue. " balas Devan bersorot tajam. Netranya nampak gelap.
Prilly menunduk, sadar tak mampu mengelak. Ia menunduk, merasa bersalah telah berbohong pada sosok yang mengkhawatirnykan. Prilly semakin menunduk kala merasakan sensasi pusing yang terus menghujam kepalanya. Rasanya semuanya nampak berbayang, kepalanya berputar. Kilas kejadian yang terekam oleh memorinya seolah menambahkan alasan meluncurnya air matanya dengan deras. Tapi Prilly buru-buru menyekanya, tak ingin menampakkan sisi lemahnya. Ia tersenyum.
"Iya Dev. Tebakan kamu gak pernah salah. " balas Prilly. Ia memejamkan mata rapat saat merasa keseimbangannya akan goyah, pijakannya melemah. Devan yang peka akan hal itu mulai bergerak membantu gadis yang selalu ia cemaskan dalam diamnya.
"Udah Dev, aku gak papa. " guman Prilly pelan, padahal itu semua berbalik dari kondisi nya. "Jangan bilang Papa ya? Jangan sampai Papa tau Dev. Jangan kasih tau Ali juga ya? Aku gak mau dia marah sama mereka. " imbuh Prilly mendongak, menunjukkan raut memelas. Wajahnya sudah berlinang air mata.
Gak mungkin gue gak bilang Ali. Bahkan gue bakalan hajar dia untuk kebrengsekannya ini.
Devan mengangguk, "tapi ada syaratnya. "
"Apa Dev? "
"Gue cuma mau lo jujur sama apa yang lo rasain, gak usah senyum palsu ke gue. Kalo lo berada di titik letih, lo gek perlu pura tegar di hadapan gue. Lo bisa aja nunjukkin sisi hati lo yang hancur. Lo gak perlu bohong sama gue. Gue kenal lo, jauh sebelum lo kenal Ali, lo gak bisa bohong sama gue Prill. " ujar Devan menatap sendu gadis itu. "Gue terima semenjak lo pacaran sama Ali, lo buat jarak antara kita. Gue juga tau lo pacarnya sahabat gue sendiri, tapi kalo Ali nyakitin lo kayak gini? Apa gue harus diam? Bilang ke gue, apa yang lo rasain Prill... " Devan meraih jemari yang terasa dingin itu untuk ia genggam.
Ckrek. Kamera blitz itu menangkap gambar dengan apik.
Prilly terdiam, masih dengan senyumnya yang nampak lembut. Ia paham betul arah pembicaraan Devan..
"Apa yang lo rasain sekarang? " tanya Devan mengulang pertanyaan nya. Netra mereka bertubrukan sebelum Prilly memalingkan wajah seraya terkekeh, hambar.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Mine
Teen FictionAli itu selalu berada di dua pilihan. Bersama Chelsea atau Prilly yang sama-sama mengharapkan nya. Chelsea sahabatnya, tapi jika diingat kembali Prilly itu menempati tahta ratu di hatinya. Ali kerap meninggalkannya untuk Chelsea. Prilly juga ingin m...