Rambut panjang keriting gantung milik Refa tergoyang cepat. Senada dengan gerak tubuhnya, ia melangkah kecepatan penuh menuju kantin. Derap kaki sengaja ia hentak, menimbulkan bunyi beradu sol sepatu dan ubin koridor sekolah. Nafasnya menderu.
"Nanti rambutmu semakin keriting, Ref." Komentar Dewa. Raut wajah mengerikan, bibirnya manyum dengan pipi menggelembung. Belum lagi alis tebalnya terpaut satu sama lain. Tapi bagi para marvel, wajah Refa malah terlihat lucu.
Mangkok kosong, gelas sisa setengah, bakwan di meja tinggal tiga. Rupanya hak perut para marvel sudah terpenuhi. Pantas saja mereka duduk santai sambil berbincang. Lain halnya dengan Refa, kondisi lapar menambah emosinya meningkat. Belum lagi hafalan tabel unsur periodik yang memakan banyak energi.
"Tau tuh... heboh banget kayak lagi diserang pake rudal."
"Kamu kali yang diserang rudal? Kayak terbakar gitu... apalagi kalau lagi liat rambutmu." Si kembar beda orang tua itu tertawa bersama.
"Heh... mereka kali."
"Mereka?" Tanya Evan samar.
"Iya, mereka yang lagi menang lotre." Jawab Refa asal.
"Kamu ikutan nitip nomer, Ref? Wah kalah nih aku, padahal kemarin aku niat pasang nomer."
"Nomer apa?" Tanya Adit, berharap tidak ketinggalan berita dari kembarannya.
"Togel." Jawab Refa dan Johan bersamaan, lalu tertawa.
"Serius, Ref..."
"Bukan, Dit. Itu loh Tika sama dayangnya kurang kerjaan banget nyamperin aku ke kelas."
"Mau silaturrahmi kali." Timpal Dewa.
"Idih... dikira lebaran apa, Si Tika nanyain Nia tuh." Refa menghela napas sejenak, pandangannya menerawang. "Atau dia cuman mau uji kesabaranku." Sekelebat bayang Nia kembali hadir di pelupuk mata. Sahabat Refa yang malang, entah bagaimana kabarnya sekarang.
"Biasanya dia kalau nyamperin kamu, nantangin sesuatu atau bagi-bagi informasi." Seru Johan.
"Gak usah jadi kompor deh." Dewa memgingatkan.
"Eh, iya sih." Elektron di otaknya seakan mendukung argumen Adit, ia menyampaikan berita. "Tika bilang nanti pulang sekolah mau pulang bareng Evan."
"Wih... ada yang lagi pedekate nih." Johan kembali menimpal. Tapi the marvel lainnya memilih bungkam. Tidak tertarik melanjutkan topik yang bisa membuat mood berantakan.
Refa mencomot satu bakwan, memakannya dengan cepat. Lalu ia ingat sesuatu. "Tadi ada berapa nih? Awas ya kalian jangan curang lagi!"
Adit dan Johan terkekeh bersama.
Sebagai perempuan, insting keuangan Refa lumayan tajam. Biasanya sebelum menyerbu Bakwan Mbak Min, ia menghitung terlebih dahulu. Jangan sampai para marvel itu membayar kurang dari jumlah yang diekskusi.
"Tenang, Ref. Di sini kan ada Farhan, kecuali kalau dia ikut khilaf sih.."
Dewa, Refa, Adit, Johan sibuk berkomentar sambung menyambung. Di sisi lain, Farhan dan Evan berbincang berdua.
"Kalian udah hafal golongan VIII A?"
"Belum... istirahat, Ref. Jangan mikirin pelajaran terus, entar kebakar nih otak." Johan menyeruput lagi es teh di depannya.
"Jangan dibahas, nanti diriku lapar lagi." Sambung Adot.
"Gara-gara ada orang heboh aku jadi dapat inspirasi nihhh"
"Apaan?"
"Golongan VIII A, gas mulia, Unsur Golongan 8A (Gas Mulia),
He = Heliaum = Heboh,
Ne = Neon = Negara,
Ar = Argon = Arab,
Kr = Kripton = Karena,
Xe = Xenon = Xerangan, Xe (baca se)
Rn = Radon
Uuo = Un'unoktium = Unyu. Jadinya golongan VIII A, heboh negara arab karena serangan radon unyu." Gelak suara Refa terdengar.Uhuk. Uhuk.
"Makanya jangan sombong." Semprot Johan.
"Aku pesankan minum ya.." ujar Farhan kalem. Ia beranjak tanpa menunggu persetujuan Refa.
"Gak usah, Han. Refa bisa minum sisa es tehku." Usul Dewa.
Selang beberapa menit, Farhan datang membawa air mineral botol. Refa berterima kasih dengan senyum lebar, memamerkan deret gigi rapinya.
"Jangan lama-lama, Ref. Nanti Farhan gak kuat." Refa nyengir, mengambil air botol dari tangan Farhan.
"Bukan botolnya, tapi senyummu yang bikin ilfill." Lanjut Dewa, disusul gelak tawa Adit dan Johan.
Lama-lama kubisa ilfill
Lama-lama kubisa ilfill
Eh, eh kok githu sih?
Lho kok marah?
Jangan githu sayangKetiganya serempak mendendangkan lagu Dewiq feat Indra Bekti yang lagi tenar. Diselingi dengan sendok berdenting, dengan gelas es teh dan mangkok sisa bakso.
"Berisiikkk."
###
Bangku kosong menjadi saksi bisu Dewa cemberut. Sejak bel pulang berbunyi dia tidak henti memaksa Refa memberi tumpangan. Pasalnya, Dewa biasa mendapat boncengan gratis dari Evan, dan sekarang dia pulang dengan Tika.
"Kenapa gak lanjut di rumah aja sih?"
Dewa senewen menyadari Refa masih berkutat dengan soal kimia. Teman mungilnya itu tidak mau pusing memikirkan tugas sekolah, karena baginya rumah adalah tempat santai. Sebisa mungkin ia ingin tugas diselesaikan di sekolah.
"Rajin amat, Farhan aja udah siap-siap mau pulang."
"Kamu pulang sama Farhan, gak papa kok." Tapi Si Empu Nama yang baru disebut, tidak mengindahkan. Teman sebangku Refa itu segera beranjak dan pamit pulang. Sepertinya Dewa tidak keberatan, malah dia ber-tos ria dengan Farhan.
Arah jalan rumah mereka tidak searah, tapi sebagai teman yang sudah akrab bertahun-tahun, harusnya Farhan mau dong antar Dewa selamat sampai rumahnya.
"Hari ini kamu gak latihan?" Dewa menggelengkan kepala. Anak emas teater itu tampak tidak bersemangat. Bukankah minggu lalu ia mempromosikan diri akan menjadi peran utama di porseni akhir semester? Refa menatap heran sejenak, lalu kembali berkutat menyelesaikan soal terakhir. Dengan wajah polos dan minta dikasihani, ia duduk di samping Refa, bekas tempat duduk Farhan.
"Heran deh... kamu bisa pulang sama temen lainnya, minta anter siapa kek, atau sama Meghan tuh. Lagian, aku pakai sepeda, kamu kan berat."
Jarak rumah Refa lumayan jauh, tapi Ayah tidak membolehkannya naik sepeda motor. Bukan tidak bisa atau karena tidak mahir mengendarai sepeda motor, tapi karena jalan menuju sekolah harus melalui jalan utama yang cukup ramai. Dengan bersepeda, Refa bisa melewati gang kecil, atau berada aman di jalur pinggir.
Naik angkot pun, masalah baru muncul. Refa harus berjalan kaki sekitar 2 kilo. Komplek perumahan yang ia huni cukup jauh dari jalan besar. Setidaknya ngontel bisa meminimkan energi terpakai.
"Aku yang ngengkol." Ujar Dewa.
"Tapi kamu langsung pulang kan?" Refa mengangguk. Ekstrakulikuler sanggar sastra yang ia ikuti libur selama seminggu. Pengurus sibuk membereskan markas sastra pasca penerbitan mading dan buletin sekolah.
Gerakan tangan Refa menutup buku kemudian memasukkan ke dalam tas disambut Dewa dengan senyum hangat. Hampir saja ia tertidur menunggu tuan putri.
"Nanti kita bikin singkatan buat unsul kimia yuk... biar gampang ngafalnya." Usul Refa. Dewa mengiakan, tenaganya udah terkuras habis untuk sekedar protes. Ia ingin tidur, rindu kasur juga nasi hangat serta lauk-pauknya.
Refa berjalan di belakang lelaki bertubuh kekar itu, sembari mendorong pelan. Segerombolan siswa di lapangan menarik perhatian keduanya.
"Apa ada?" Refa menunduk, mengamati kejadian dari lantai tiga.
"Udah deh, ayo pulang."
"Bentar." Pandangan Refa masih menyelusuri dengan seksama. "Itu kan Kak Lala." Keberhasilannya mendapatkan informasi membuat Refa tertawa. Dewa menatap heran.
"Evan pulang sama Kak Lala."
###
KAMU SEDANG MEMBACA
Rekata
Teen FictionThe Marvel bagaikan Rekata untuk Refa. Lima sekawan; Evan dengan popularitas dan kemisteriusannya. Setiap hari mengalami drama para gadis yang ingin pulang bersama. Artis lapangan walau bukan kapten basket, dan sisi lain Evan yang hanya diketahui t...