XIII

10 1 0
                                    

"Rin, mau ikut aku ke kamar mandi gak?" Rasa bosan mendominasi, guru Sosiologi baru saja keluar kelas. Pembagian nama interaksi sosial yang baru saja disampaikan tidak sepenuhnya Refa pahami. Semua terlihat samar dan seolah sama satu lain. Kenapa pula harus ada perbedaan dan pembagian?

"Boleh. Sekalian aku juga kebelet pipis." Rina beranjak, berjalan santai di samping Refa.

"Tumben ngajak aku, Ref. Biasanya kamu langsung ngacir." Atau tanpa sungkan minta Dewa temani, batin Rina. Selain the Marvel, Refa tidak pernah terlihat dekat atau akrab dengan siapapun. Meski tidak punya teman perempuan, Refa biasanya percaya diri meski berkeliaran seorang diri.

"Kenapa? Dinda keberatan ya?" Refa memicingkan mata, ia tahu resiko berakrab ria dengan teman dekat orang lain, terlebih dia mempunyai asumsi miring.

"Eh, gak kok. Tanya aja, soalnya kamu kan jarang ngobrol."

"Hehehe... karena gak kenal aja makanya ngajak ngobrol, kan kita udah kenal." Rina tersenyum. Jawaban Refa, ia saring dalam otaknya. Mungkin orang lain terlalu silau melihat sekeliling Refa. The Marvel, walau masih junior tapi reputasi membuat mereka dikenal seantero SMA Nusantara.

Evan, Adit, Johan, dengan badan atletik, artis lapangan. Dewa dengan kreasi tangannya; bisa melukis, menulis puisi, memasak, juga tak luput menata rambut Refa. Farhan, Si Jenius, pintar, cerdas, yang sukses membuat Rina jatuh hati.

Ups!

Tapi mungkin hal itu yang membuat para pemuja the Marvel memandang Refa sebelah mata, penuh iri, dengki. Karena hanya Refa yang selalu ada di dekat mereka, dan perhatian mereka tertuju pada Refa. Rina sudah menyaksikannya sendiri.

"Rin, kamu masih lama ya?" Ketukan pintu kamar mandi memotong lamunan Rina. Sepertinya Refa lebih dulu menyelesaikan hajatnya di bilik sebelah. Apa daya Rina masih melamun sembari duduk di atas kloset.

Tuan putri the Marvel ringan melangkah menuju wastafel. Memulai ritual cuci tangan dan menatap pantulan diri di cermin. Hari ini Dewa mengepang seluruh rambut Refa, membentulnya seperti kelabang, juga memasang spray sehingga rambut keriting gantung Refa tetap rapi. Bebas dari hama awut-awutan.

"Ow, ow... pas banget ada pengekor Evan disini." Dari cermin terlihat jelas dua siswi memasuki toilet. Refa menghela napas. Lagi-lagi nenek lampir ini mengusik hidupnya. Ingin rasanya seminggu saja tidak berinteraksi langsung dengan bom waktu yang selalu menguji kesabarannya.

"Eh, bentar lagi kayaknya dia gak bisa ngintilin Evan lagi deh, Han. Secara kan Evan masuk IPS." Berdua dengan Hani, Tika mendekati Refa. Mengambil posisi dan mengeluarkan bedak dari saku.

"Apalagi kamu juga masuk IPS, Tik. Wah... semoga kamu sekelas sama Evan deh!" Gelak tawa Tika membahana. Mereka meneliti wajah di pantulan kaca, mencari cela untuk menambah porsi bedak di wajahnya.

"Johan, Adit, Dewa juga masuk IPS... Duh, gak punya temen deh."

"Kan ada Farhan, Tik."

"Target dia kan Evan, yang lain mah gak ada artinya buat dia." Refa menyenderkan bahu, menatap dua orang di sampingnya dengan seksama. Hebat, mereka menggunjing di depan orangnya langsung.

"Oh... berarti dia suka Evan ya. Bentar, teman makan teman dong. Nia kan juga suka Evan." Refa mendengus kesal. Kenapa pula bawa nama Nia?

"Nah itu dia. Nia aja dia singkirin, apalagi aku."

"Heh.. kalian minus apa emang udah buta sih, gatal banget telinga denger kalian ngomong."

"Lebih gatal mata gua kali... liat muka lu tiap hari." Tika membalikkan badan, berhadap langsung dengan lawan bicaranya. "Jadi stop masang muka polos, sok gak berdayamu itu. Dan jangan harap bisa bikin Evan masuk IPA."

RekataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang