X

28 1 0
                                    

Pak Samin menatap tenang gadis remaja di depannya. Wajah gadis itu memerah, menahan emosi.

Berjarak sepuluh meter, Farhan dan Dewa duduk di bawah pohon beringin, mengawasi teman mungil mereka. Amat khawatir gadis cerewet kesayangan mereka meledak di luar perkiraan.

Refa, entah mengapa kasus rusaknya sepeda tidak mau dibahas. Bahkan melarang sepedanya diperbaiki, alhasil sampai sekarang sepeda itu masih menghuni bengkel langganan Dewa. Anak teater itu memang tidak punya motor, tapi dia selalu menggiring teman-temannya menjadi pelanggan di bengkel milik sepupunya.

"Loh... kok gak ada drama?" Komentar Dewa. Satu menit lalu Refa melangkah dengan amarah mendebu, alis terpaut satu sama lain, pipinya memerah dan menggembung. Mendatangi Pak Samin dengan tergesa.

Tapi keadaan Refa terlihat lebih stabil setelah Pak Samin melontarkan sebuah kalimat. Lelaki sederhana berpakaian kemeja lusuh berwarna hijau pudar, celana kain gelap dan sandal jepit itu memberi pernyataan yang paling Refa ingin dengar. Pak Samin bersalaman dengan Pak Indro, kemudian meninggalkan area sekolah. Ikuti Refa tanpa paksaan.

"Baguslah, kita gak perlu berurusan sama Pak Samin lagi." Balas Farhan. "Ya sudah, aku lanjut ke ruang Pak Siraj."

"Ngapain? Langsung pulang aja, masih percaya Pak Siraj rela kamu ikut olimpiade?"

"Rela gak rela, tetap aku yang ditunjuk."

"Yaelah... itu cuman alibi. Beliau itu gak rela."

"Gak rela apaan?"

"Gak kalau kamu gak masuk kelas."

"Gak nyambung." Farhan beranjak. Meladeni Dewa terlalu lama bisa menurunkan kepintaran dan motivasi belajar. Eh? Kayak judul skripsi aja...

"Yahh... padahal mau nebeng."

"Lagian kamu gak latihan? Katanya mau jadi pemeran utama..."

"Sekarang masih rapat penentuan tema, aku gak usah ikutlah... mau jadi karakter apa, aku bisa. Mereka tentukan semua, aku kan pemeran, terima naskah, tinggal latihan, beres!"

"Sak karepmu." Ucap Farhan kemudian berlalu.

"Heh... aku yang orang Jawa, kok kamu yang mendhok!"

###

"Ibu tunggu di rumah, Neng Repa disuruh cepet pulang." Kalimat pamungkas Pak Samin seketika meredam amarah Refa yang tengah mendidih.

Ucapan Pak Samin merontokkan benteng Refa, tipis namun sulit ditembus. Butiran salju bagai gugur di sekitar Refa, memberi sejuk walau gentar egonya ditabrak.

Masih dibalut blus dan blazer yang dikenakan tadi pagi, Bunda sibuk menata makanan di atas meja. Kerudung biru mudanya masih melekat, sesekali ia usap bulir keringat di dahi.

Apa mau dikata, Bunda harus segera memgambil keputusan, menyudahi diskusi-diskusi panjang di tengah malam. Bunda selalu cemas kesibukannya berpengaruh buruk bagi kedua putrinya, namun tidak bagi Ayah. Prestasi Abel dan Refa tidak menurun, aktivitas keduanya berjalan seperti biasa, meski ada gangguan kecil seperti rewelnya Refa makan siang.

Kejadian sepeda Refa mengulik rasa cemas. Mengisi rasa bersalah Bunda lebih berat.

"Bunda!!!" Pekik Refa. Gadis kedua Argawinata mengendap, melangkah tanpa suara dengan kaki beralas kaos kaki. Tepat di belakang Bunda, ia berhambur memeluk wanita kesayangan.

"Astagfirullahhh..." centong di tangan Bunda lepas dari pegangan, jatuh menghujam lantai keramik. Refa tertawa senang rencananya berhasil. "Hmmm... senangnya bikin kaget Bunda."

RekataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang