VIII

27 1 0
                                    

"Sudah aku bilang jangan ganggu dia."

Dua penjaga pintu saling tukar pandang. Mata awas mereka dipenuhi tanda tanya. Bagaimana bocah kelas sepuluh itu dengan gamblangnya mengungkap kejahatan komplotan mereka siang tadi. Mereka sudah mengantipasi, menjaga ketat agar tidak ada saksi mata. Mereka juga sempat mengalihkan perhatian penjaga sekolah dengan membuat keributan di depan gerbang, mengamankan setiap titik yang memungkinkan ada mata yang mengintai.

"Kamu memang berbakat, bisa menemukan tempat ini." Bekas luka terlihat jelas di dahi sebelah kanan. Ia duduk santai di singgasananya -potongan kayu, tersusun rapi dengan tinggi satu meter.

"Aku senang, akhirnya kamu datang tanpa perintah. Welcome to our kingdom." Tamu tak diundang itu tersenyum sinis. Baginya menemukan markas mereka mudah saja, gedung kosong berjarak lima kilometer dari arah SMA Nusantara, kacung-kacung mereka akan mendatangi tempat ini untuk mempertebal loyalitas. Markas mereka terlalu mencolok jika hendak dikatakan tersembunyi.

Our kingdom? Mungkin lelaki berlagak itu lupa siapa yang membuat bekas di dahinya. Tak lain, dialah sosok yang berdiri di hadapan, terlihat santai walau kenyamanannya terusik.

"Kedatanganku bukan perayaan. Aku bahaya. Dia atau siapapun di dekatku, jangan pernah ganggu."

"Dia siapa? Ayolah jangan terlalu serius, kami tidak suka menyakiti." Entah berapa kali lelaki bermata hitam pekat harus menampakkan wajah tidak suka. Kalimat diplomatis membuatnya semakin jengah.

"Aku tahu, sepatu-sepatu kalian tentu menjadi saksi bisu. Apa sepatu kalian baret? Atau malah rusak." Dia duduk gusar mendengar kalimat lawan bicaranya.

"Atau kalian perlu melihat langsung bekas jejak sepatu-sepatu di sepeda Refa?"

###

Sungai hitam bernama aspal, sepi. Roda-roda masih terpangkir. Knalpot memuncratkan udara kotor, mesin perlu dipanaskan sebelum perjuangan dimulai.

Masih terlalu pagi. Para petugas kebersihan menyapu daun-daun berguguran, sapu lidi dengan gagang kayu panjang, tulang daun nyiur yang dirangkai lebih sedikit dari sapu lidi biasanya. Jarak antar lidi lebih renggang, lidi yang digunakan pun lebih panjang dan ujung lidi lebih lemas. Petugas terlihat ringan membawa sapu lidi, mengumpulkan dedaunan untuk kemudian masuk dalam truk sampah.

Pemandangan ini langka bagi Refa. Mungkin jika tidak bersama Ayah Bunda, tidak ia temukan aktivitas pagi para petugas kebersihan kota.

"Siapa satpam di sekolah kamu?"

"Pak Indro sama Pak Yanto." Di balik kemudi Ayah mengangguk. Pembicaraan tadi malam tidak membuahkan hasil. Refa menunggu kedatangan Ayah Bunda hingga tertidur di depan TV. Abel ikut menemani sambil menyelesaikan tugas -akhirnya juga tertidur di samping Refa.

Bunda membangunkan keduanya, meminta mereka tidur di kamar. Kedatangan Bunda dan Ayah tidak membuat Refa menemukan jawaban. Diskusi tadi malam membutuhkan jawaban lebih, apa yang terjadi dengan sepeda itu?

Pun harus memaksa, Refa tidak tau jawabannya.

"Prensentase remaja depresi karena bullying." Bunda membaca majalah langganan, sembari memperhatikan ekspresi Refa di kaca spion.

"Tiap tahun angkanya meningkat, Yah..." komentar Bunda.

"Jatuh cinta membuat remaja bersikap acuh tak acuh, ih... gak bener nih. Kayaknya Bunda dulu gak gitu."

"Gaya remaja masa kini."

"Gejala remaja menghadapi pubertas."

"Ketidakharmonisan keluarga menyebabkan turunnya prestasi remaja."

RekataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang