V

38 6 0
                                    

Deru sepeda motor Evan terdengar dari kejauhan. Mengantar gadis pulang seolah menjadi rutinitas baginya. Tidak sulit membedakan gadis yang benar-benar membutuhkan pertolongan atau hanya sekedar drama. Namun,untuk mempermalukannya di depan umum, Evan tidak sejahat itu.

Menjadi tukang antar bebas biaya bukan perkara besar. Asal mereka hafal jalan pulang, mudah bagi Evan mengantarkannya hingga tujuan. Sayangnya kadang drama lanjutan terjadi, si gadis menawarkan mampir dulu, minta diantar hingga ke halaman, karena banyak dari para gadis yang mengorbankan lengan sikunya berdarah dan berdalih tidak sanggup menopang diri. Atau lebih parah lagi, orang tua si gadis ikut berperan dalam drama.

Evan ingin berhenti, mengakhiri drama. Tapi lagi-lagi, dia tidak sejahat itu.

Sepeda motor honda milik Evan melaju stabil. Kendaraan bercorak hitam merah itu setia menemani, walau motor Evan tergolong jadul dan tidak se-gaul sepeda motor teman-temannya. Siapa sangka sepeda motor unik Evan setipe dan sama persis seperti milik Pak Hilman, guru matematika yang cukup humoris itu, para gadis tetap antri ingin diantar pulang.

"Lama banget."

Muka Dewa berkeringat dan berminyak. Badan eksotiknya bernaung di bawah dahan kelengkeng milik keluarga Refa yang menyembul keluar pagar.

"Ayo pulang." Ajak Evan. Dagunya mengisyaratkan Dewa untuk segera naik, duduk dengan di jok belakang. Ia terlalu lelah dengan drama para gadis, jangan sampai teman karibnya itu ikut berdrama.

###

Air dalam gelas ia teguk habis. Basah kerongkongan memutus rasa dahaga. Refa menghempaskan diri di atas sofa, mencoba terlelap.

Refa mengacuhkan perintah Bi Inah, menyuruhnya bergegas ganti baju dan makan.

Hening, mencipta kantuk. Perlahan mata Refa menutup dan terasa berat.

Bi Inah sedang sibuk di belakang, menjemur pakaian yang telah dikeringkan di mesin cuci. Pak Samin duduk menemani di lincak, sembari menyeruput kopi dan sesekali mengamati gerak-gerik sang istri.

Siang terik, tidak terlihat penghuni perumahan Derana hilir mudik. Salah satu karena malas keluar, panas. Tapi lebih banyak yang belum datang, di perjalanan pulang sekolah atau masih berkutat dengan bekerja kantor.

Sayup suara sepeda motor, mengema membelah jalan perumahan. Berhenti tepat di depan rumah Refa, kemudian kembali melaju.

"Refa, makan dulu." Putri kedua keluarga Argawinata itu menggeliat kemudian beranjak, mengambil tas sekolah yang ia lempar sembarang. Melangkah menuju kulkas, semangkuk sop buah menanti pemiliknya. Refa masuk kamar, membawa serta mangkuk kesayangannya.

Tidak pernah Refa suka makan siang. Untuk apa? Duduk sendiri di meja makan, menyantap nestapa hidangan. Tidak ada keluarga menemani, sedang Bi Inah dan Pak Samin sungkan untuk duduk menyantap makanan bersama.

Mbak Abel belum pulang, begitu juga dengan Ayah Bunda. Ini tahun kedua Bunda ikut bekerja menemani Ayah. Keputusan yang cukup menguras emosi Refa.

Dua tahun lalu Om Herman, Kakak Sulung Ayah meninggal. Mau tidak mau, Ayah harus bekerja lebih keras, menjadi pengendali utama perusahaan arsitektur yang beliau rintis bersama Om Herman. Ayah butuh temen, bukan sekedar patner kerja, Ayah butuh teman diskusi, seseorang yang menyiapkan kebutuhan, seseorang memperingatkan schedule, juga benteng pelindung yang kuat. Tidak ada yang bisa melakukan hal tersebut, kecuali Bunda.

Sejak bekerja Bunda jarang di rumah, ikut serta semua kegiatan Ayah, juga ikut mengurus keperluan di luar kota. Ah, meski bukan di luar kota, perusahaan Ayah saja terletak di Jakarta. Setiap hari menempuh perjalanan Jakarta-Bogor. Jarak yang cukup jauh itu membuat keduanya sering pulang larut.

RekataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang