"Umur kamu dua puluh tujuh tahun, kenapa belum ada pacar juga?"
Sepertinya pertanyaan itu selalu menghantuiku. Pertanyaan gamblang yang sangat mudah untuk diucapkan, tapi berhasil menyayat hati. Kemarin, ada reuni keluarga kecil-kecillan yang dihadiri keluarga Papa saja. Di antaranya ada Bella, Anggun, Pakde, dan Bude. Kabarnya, Bella sudah dipinang dan akan melangsungkan pernikahan 2 bulan lagi. Sedangkan Anggun dalam masa pendekatan dengan seorang notaris yang bekerja di Cibubur.
Pacar.
Ah. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku. Rasanya ingin menjalin hubungan dengan seseorang, tapi di sisi lain rasa takut itu masih ada. Aku menceritakan semuanya kepada Jamal. Namun, responsnya seperti biasa. Mengejek bahkan menertawakanku.
"Padahal kamu cantik loh, Den, kenapa menolak banyak cowok hanya karena trauma? Apa kamu mau kita pacaran saja? Kebetulan saya jomlo, kok." Sial, sekarang dia malah menggodaku—yang kubalas dengan kekehan idiot.
"Kayaknya aku salah curhat sama kamu, deh, Dok."
"Memang salah." Jamal berucap sembari berjalan ke samping meja, mengambil beberapa obat bius untuk diserahkan kepada Jeni—paramedik veteriner.
"Lupakan soal Kenzo. Tidak semua cowok seperti dia. Saya buktinya."
Aku memutar bola mata setelah mendengar ucapannya. Tuhan, kenapa ada laki-laki dewasa dengan tingkat kekonyolan seperti anak SMA ini? Aku tidak bisa berhenti tertawa ketika dia memberiku sedikit godaan-godaan yang membangkitkan seluruh kupu-kupu untuk menggelitik perutku.
"Itu kenyataan, Dena. Beberapa hari yang lalu Sena nembak kamu dan kamu menolaknya, padahal kurang dia apa? Ganteng iya, mapan juga iya. Tapi...," Jamal menggantungkan kalimatnya, berdeham sembari meletakkan dua jarinya di atas dagu. Tampak seperti profesor yang sedang memikirkan atom-atom kimia.
"Tapi dia player," sambungku malas, lantas membenamkan kepalaku di atas meja. "Semua cowok itu player!"
"Kecuali saya."
Aku tertawa. Siapa bilang Jamal tidak seperti laki-laki lain? Justru lebih parah daripada Sena yang menunjukkan sifat playboy-nya di muka umum. Entah sudah ada berapa koas yang berhasil masuk ke dalam perangkapnya dan tentu saja berakhir di tempat yang sama. Kalau tidak di hotel, ya di penginapan. Lantas apa yang harus kupercayai lagi? Kadang aku bosan dengan diriku sendiri yang tidak bisa membuka hati untuk orang lain karena terlalu takut untuk dilecehkan.
Ras perempuan memang paling lemah. Begitu pun sebaliknya. Laki-laki selalu kuat dalam hal apa pun. Cengkeramannya begitu kuat sampai bisa membuat wanita tidak berdaya ketika tangannya mengunci pergelangan. Bahkan, apakah kalian pernah melihat teman laki-laki kalian menangis? Pasti ada sebagaian laki-laki yang menangis. Namun, banyak juga dari mereka yang memilih menyembunyikan tangisan lewat senyum. Mereka makhluk yang pintar memanipulasi.
Di sini aku tidak ingin menjadi provokator. Tapi, bukankah laki-laki yang baik tidak akan berlaku semena-mena terhadap perempuan?
"Dokter! Ada pasien tabrak lari!" Aku yang sedang melamun dan Jamal yang sedang duduk di kursi kerjanya melihat Ana datang dalam keadaan tidak baik. Paramedik yang baru bekerja kurang lebih 2 bulan ini memang belum terbiasa dengan keadaan darurat. Padahal, bagi Jamal masalah tabrak lari yang dialami anabul—anak bulu—itu sangat kecil.
Aku berdiri lantas berlari mengikuti Jamal. Ini masalah kecil yang seharusnya tidak menimbulkan keributan dan kegaduhan antara pemilik hewan peliharaan dan staf klinik di luar sana.
Tanganku merogoh masker yang kuletakkan di dalam kantung jas, lantas menutup separuh wajah untuk menghindari percikan darah. Tanpa memedulikan kemejanya yang berlumur darah, Jamal menggedong anjing jenis herder ke ruang khusus untuk melakukan tindakan cepat pada situasi seperti ini.
"Bagaimana?" tanyaku sembari menatap bagian perut yang sedikit sobek. "Luka tabrak?" sambungku. Ana membawa beberapa alat bedah yang pastinya sudah disterilkan terlebih dahulu. Jamal menggelengkan kepala pelan.
"Bukan, ini luka bacok, tapi enggak terlalu dalam," katanya menoleh ke arahku lantas menarik senyum terbaiknya. "Kamu yang tangani pasien ini, ya, saya ke ruang ganti dulu. Bisa, kan?"
Sejenak aku mengamati herder yang terbaring menatapku dengan mata berbinar menahan sakit. Aku tersenyum. Tenang. Dia hanya ingin uluran tanganku.
Jamal berlalu. Tinggallah aku di sini bersama Ana dan herder yang tidak kuketahui namanya ini. Dengan lidah yang terjulur keluar, anjing berusia sekitar 2 tahun ini meringik. Pelan kuelus kepalanya agar sedikit tenang.
Aku menyiapkan premedikasi. "Siapa yang melukai kamu?" tanyaku sesaat setelah herder itu merasa sedikit tenang, sembari menyiapkan cairan bius dengan spuit, aku mengelus kepalanya, memastikan anjing tersebut sudah berada dalam pengaruh premedikasi.
Anjing itu tetap meringik dengan tubuh sedikit meronta saat aku mulai memasukkan bius secara subkutan di area punggungnya, dalam waktu sepuluh menit anjing itu tertidur.
"Tahan sedikit, ya, sebentar lagi juga selesai," kataku kembali. Siapa bilang kalau aku tidak waras? 100% aku waras. Ini hanya caraku untuk menenangkan pasien-pasien berbulu di sini. Biar aku beri tahu sedikit saja. Mereka juga punya hati seperti apa yang dirasakan manusia, hanya saja beberapa hewan memang mempunyai cara tersendiri untuk menyayangi sebagaian manusia yang berbuat baik kepada mereka. Ya, seperti perasaan sayang dan balas budi. Secara hakikat bahasa kita memang berbeda, tapi apa yang manusia ucapkan sudah pasti dimengerti oleh mereka—para hewan yang mungkin kau beri perlakuan buruk ataupun sebaliknya.
"Dok? Ada yang memaksa ingin masuk ke dalam." Aku menoleh ketika Eko, staf penjaga yang ada di luar menyembulkan setengah kepalanya melewati pintu.
"Suruh saja masuk agar tahu kondisi hewan peliharaannya," kataku acuh tak acuh. Selesai menjahit, aku memerintahkan Ana untuk mengangkat tubuh anabul ini ke dalam kandang setelah dibersihkan terlebih dahulu dari percikan darah yang mengotori bulu hitamnya. Dengan pelan aku melepas masker, sarung tangan, kemudian jas putih yang kukenakan.
"Bagaimana keadaannya?" Aku diam sebentar. Membelakangi pemilik suara bas itu. Seorang laki-laki yang tidak kuketahui namanya bertanya dengan suara dingin dan nyaris gemetar.
"Baik-baik saja. Siapa yang tega melakukan itu sama dia? Seharusnya kamu rawat dia baik-baik, jangan dibiarkan berkeliaran sendiri di—" Kalimatku otomatis berhenti saat badanku berputar dan menemukan wajah dingin serta tatapan kaku yang kulihat di stasiun malam itu. Manik mata cokelatnya mengunci buih-buih perkataanku. Seolah bisu, tatapan itu mampu membuat sunyi di antara kami.
"Saya enggak biarin anjing milik adik saya ini sendirian di luar. Tadi saya jogging sama dia dan sialnya anjing ini mengigit orang lain. Saya yang merobek perutnya dengan pisau yang ada di saku."
Aku menyipitkan sebelah mata. Merobek katanya?
"Are you crazy?" Sedetik kemudian aku membungkam mulut saat pria yang ada di hadapanku ini membuang muka. "Mungkin dia ingin menyelamatkanmu dari bahaya, tapi kamu tidak sadar apa yang sudah dia lakukan untukmu. Lagi pula, dia adalah jenis anjing yang taat pada majikannya."
Pria itu menarik senyum miring. Ia sandarkan bokongnya di atas meja operasi. "Saya akui saya memang salah, tapi anjing itu juga bisa menyakiti orang lain, kan?"
"Dia akan menyelamatkanmu. Memangnya kamu tahu siapa yang akan berbuat jahat sama kamu?"
Pria itu melangkah mendekatiku. "Well, Bu Dokter, maaf. Sekarang tugas kamu adalah menyembuhkannya, bukan menghakimi saya." Lelaki yang tidak kuketahui namanya itu berbalik, lantas berlalu dari ruangan ini.
Kenapa aku jadi jengkel begini? Di balik semua perkataannya tersimpan sekat yang ingin kupukul sekeras mungkin. Lagi pula, siapa yang mau membantu dia yang dingin dan banyak lagak begitu? Kalau bukan karena profesi, akan kutendang orang itu keras-keras.
"Dokter Dena, Dokter Jamal memanggil Anda." Aku mengembuskan napas pelan saat Vania, staf keuangan, memanggilku. Jangan sampai Jamal juga menyalahkanku atas data-data keuangan yang tidak benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
After I Knew His Name [TERBIT]
Chick-LitDITERBITKAN OLEH LUMIERE PUBLISHING Blurb: "Ketakutanku terlalu ikut campur perihal rindu dan kehilangan." -- Adena Auri Deolinda. Tak ada hubungan yang selalu berjalan mulus. Setiap orang berhak merasakan kebingungan dalam menentukan perasaan. Pen...