Suara kendaraan teramat bising. Aku mengerjap beberapa kali saat asap kendaraan masuk ke dalam mata. Sore ini kuinjakkan kaki di toko kelontong milik Cak Mardi—singkek Surabaya yang sudah lama menetap di Solo. Aku ke sini karena membeli beberapa ikan dalam kemasan. Papa ingin makan ikan bandeng dengan bumbu yang sudah terserap dalam kemasan.
Sebenarnya aku ingin pergi ke rumah Dewi, suasana rumah mendadak tidak nyaman saat Dinda masih memberi reaksi tidak enak. Semalam Orlando memutuskan untuk minta maaf pada Papa karena sudah membawaku pergi hingga larut malam, bersama laki-laki lain yang bukan Sena. Orlando seperti sadar posisi, tapi dia tidak menampakkan ketidakpeduliannya akan hubunganku dan Sena di depan Papa.
"Wi, ada di rumah?" tanyaku melalui telepon yang baru saja terhubung. Aku tidak tahu apa yang sedang dia lakukan di sana, yang pasti weekend ini Dewi sibuk menata peralatan rumah. Dia baru saja pindah ke Solo, dan setibanya di kota ini, Dewi lumayan sibuk dengan jadwal klinik yang terbilang sangat-sangat padat karena kurangnya dokter hewan di tempat yang sudah berdiri dua tahun itu.
"Mau ke sini? Syukurlah, bantuin nata pigura, dong." Belum sempat aku mengucapkan keinginanku, Dewi sudah mengerti maksud tujuanku.
Sebenarnya kompleks perumahan Dewi tidak jauh dari toko kelontong Cak Mardi, hanya berjarak beberapa blok dan aku sudah sampai. Lagi pula, buat apa di rumah? Aku masih tidak nyaman dengan yang situasi baru. Sedangkan di depan sana ada beberapa anak kecil bermain lempar bola. Halaman rumah Dewi terlihat ramai. Ada kucing domestik dan anak-anak itu tampak semringah karena bermain dengan hewan. Beberapa ada yang melihatku dengan ranah bertanya, tapi hanya kutanggapi dengan senyum kecil.
Aku bingung bagaimana memperbaiki keadaan rumah. Semula—sebelum Orlando benar-benar datang dalam kehidupanku, aku mengenal Dinda seperti biasanya, bercanda dan memikirkan semua bersama. Aku menghargai pendapatnya, dan dia menghargai pendapatku. Namun, semalam aku berada di puncak emosi, aku merasa bahwa keputusanku memang benar. Sena terlalu nyaman mengabaikanku, sedangkan Dinda memihak pada laki-laki Yogyakarta itu.
Papa? Sudah pasti tidak akan ikut campur lagi karena aku sudah berjanji akan menghadapi masalah ini dengan bijak, dan salah satu cara untuk mengadu hanyalah pada Dewi. Dia mengerti semua busuknya otak dan keinginanku.
"Den!" Dewi memanggilku dari arah ruang tengah. Banyak barang berserakan, seperti kardus, dan beberapa guci yang tertutup dengan plastik dan kain putih. Rumah ini minimalis, dengan lukisan pada setiap dindingnya—gambar berbentuk abstrak yang jadi kegemaran Dewi.
Selama berada di Bali, Dewi lumayan sibuk, dan dia sudah mampu membeli rumahnya sendiri. Kali ini semua impiannya tercapai. Aku sebagai sahabat baiknya pun ikut senang saat tahu Dewi tetap bersama Galih—sosok pengacara muda yang pernah menjadi mantannya.
"Bantuin, ya?" Dewi datang ke arahku. Dia memakai celana pendek jeans dan kaus putih polos, serta rambutnya digelung ke atas. Rumah ini sedikit berantakan, karena wanita yang ada di hadapanku ini hampir menghabiskan seluruh waktunya di klinik.
Aku mengangguk lantas melepas jaket denimku. Kurasa sesi pembicaraan akan dimulai setelah membersihkan seluruh kekacauan ini. Kata kekacauan terdengar berlebihan, tapi itu kondisi rumah Dewi sekarang. Kacau!
"Enaknya ini ditaro di mana?" Dewi meminta saran. Aku berkacak pinggang, alisku berkerut memikirkan posisi pigura foto yang pas. Di dalam foto itu Dewi tampak anggun dengan kebaya krem dan topi toga. Udayana membuatnya banyak berubah, rambutnya sedikit pirang, dan warna kulitnya semakin eksotis, apalagi senyumnya yang mampu membuat seluruh kaum adam terpikat. Percayalah, jika kalian bertemu dia, sifatnya sangat anggun dengan suara mendayu indah. Namun, jika sudah bersamaku, akan kupastikan dia bukan Dewi yang seperti putri kerajaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
After I Knew His Name [TERBIT]
Chick-LitDITERBITKAN OLEH LUMIERE PUBLISHING Blurb: "Ketakutanku terlalu ikut campur perihal rindu dan kehilangan." -- Adena Auri Deolinda. Tak ada hubungan yang selalu berjalan mulus. Setiap orang berhak merasakan kebingungan dalam menentukan perasaan. Pen...