[11] He Tell Him About Me

136 12 3
                                    

"Selamat pagi, Papa!" seruku. Pagi ini ada pemandangan yang indah di belakang rumah. Papa sedang bermain bersama Joli. Ketika sebuah boomerang dilempar, Joli berlari untuk mengejarnya.

Masih pukul 7 pagi dan sejauh ini Papa baik-baik saja. Akhirnya kulangkahkan kembali kaki menuju dapur untuk meneguk segelas air. Papa datang dengan keadaan badan yang berkeringat, sementara Joli terus mengekori dengan manja ketika Papa duduk di kursi.

"Sena sore ini jadi datang?" Semalam aku bercerita tentang Sena, dan Papa terlihat suka karena latar belakang Sena yang cocok dijadikan kategori calon mantu idaman, di tengah perjalanan menuju kafe favoritku yang berdekatan dengan klinik, Papa sempat menyinggung tentang Orlando. Katanya Orlando juga termasuk ke dalam kategori calon menantu idaman.

"Sesibuk itu, ya, anggota kepolisian?" Papa meneguk kopi yang sudah ia siapkan jauh sebelum aku bangun tidur. Ia duduk di kursi meja makan, sementara Joli berdiri dengan tangan yang meraih meja. Papa yang sadar Joli menginginkan snack segera beranjak untuk mencarinya.

"Makanan Joli ada di mana?"

Aku menunjuk dengan dagu ke arah meja piring berbahan dasar kaca.

"Kamu setiap hari begini? Cuma ditemani si Cantik Joli?" Papa mencium puncak kepala golden retriever itu dan mencubit pipinya gemas.

"Enggak juga sih, Pa. Biasanya Dena ajak Joli ke klinik, tapi berhubung kemarin Bruno dititipkan di sini jadinya Joli stay di rumah aja." Aku mengulum bibirku, berpikir ketika sebelum mengatakan sesuatu. "Mama gimana kabarnya?"

Aku tahu Papa tidak akan menyesal berpisah dari Mama. Aku tidak pernah mendengar kabar Mama sedikit pun, meskipun beliau adalah mama kandungku. Bukan kami yang tidak acuh, melainkan Mama yang membangun beton pemisah di antara hubungan yang rusak karena adanya orang ketiga.

"Mama kamu hamil." Aku tersedak ketika mendengar kabar itu. Papa menepuk tengkukku, membuat brownies cokelat pemberian Dinda tertelan dengan susah payah. Mama berumur 49 tahun dan masih mampu mengandung? Aku tidak habis pikir.

Memikirkan perihal Mama membuatku agak pusing, jadi aku berniat untuk mengajak Joli olahraga pagi di taman kompleks. Mencari harness abu-abu milik anjing kesayanganku, lalu memasangkannya. "Mau ke mana? Jogging?" tanya Papa, ia sudah siap dengan koran dan kopinya.

Aku mengangguk. "Cuma di kompleks kok, Pa."

Papa menarik ritsleting jaket Adidas yang kukenakan. "Dadanya jangan diumbar, ya." Ia tertawa kecil lantas berlalu menuju halaman belakang. Joli yang sepertinya tidak sabar ingin keluar dari rumah pun mendahuluiku.

Perkara Sena, aku tidak menerima kabarnya lagi. Jika semua ini bisa dibicarakan sudah pasti dia mau datang kemari dan menemuiku. Ponselku penuh dengan SMS dari para pemilik hewan dan tidak ada satu pun kabar darinya. Padahal dari kemarin aku mengirimkan pesan, tapi Sena sepertinya enggan membalas.

Aku berlari dan Joli kubiarkan mendahuluiku. Para tetangga menyapa ramah dan sesekali menggoda, memanggil anjing centil itu. Napasku memburu, keringatku mengucur deras, matahari semakin terik, dan kuputuskan untuk kembali pulang setelah memutari satu gang.

Sesampainya di depan rumah, aku disuguhkan dengan kehadiran Bobby dan Bruno yang duduk di kursi teras sedangkan pintu rumahku masih tertutup rapat. Tumben sekali mereka ke sini di jam pagi. Dengan napas yang masih putus-putus aku menghampiri mereka.

"Ada apa pagi-pagi ke sini? Bruno mau dititipin lagi?" tanyaku dengan tawa. Bobby tersenyum menampakkan lesung pipi. Rambutnya yang terkena sinar matahari semakin cokelat ketika dia berjalan ke arahku.

"Aku tadi iseng jogging di alun-alun, berhubung pulangnya lewat kompleks rumah kamu, sekalian mampir saja. Oh, sebentar." Bobby berlari masuk ke dalam teras—karena sekarang kami berdiri di pelataran bagasi.

After I Knew His Name [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang