Sudah empat hari Sena tidak memberi kabar dan aku pun tidak lagi mengirim pesan untuknya. Ketika kamu mengirim pesan pada seseorang yang amat kamu cemaskan, tapi tak kunjung mendapat balasan, bukankah itu hanya sia-sia?
Akhirnya kuputuskan untuk bekerja dengan senyum mengembang dan tidak memikirkan Sena lagi. Justru Orlando yang kerap menelepon, memberitahu bahwa Bruno merindukan rumahku. Malam itu kami hanya keliling kota Solo dan mampir ke Gladag Langan Bogan atau Galabo—salah satu kuliner malam yang paling terkenal di kota Solo. Di sana kami berbincang tentang latar belakang keluarganya yang dikenal sebagai keluarga Adelio. Ternyata Orlando tidak mau meneruskan bisnis keluarganya dan memilih untuk menjadi masinis, lalu menanam saham sebagai upaya kontribusinya terhadap perusahaan.
"Bobby yang lebih mewarisi manajemen keuangan daripada aku yang bisanya cuma keluyuran," katanya malam itu sembari menyantap bakmi jowo.
"Kenapa enggak pilot? Kan lebih leluasa terbang ke mana-mana."
Orlando tertawa. "Keinginanku dari kecil adalah masinis. Lagi pula kereta lebih santai." Setelah selesai menghabiskan seluruh makanan, kami tetap berada di Galabo. Memperhatikan Joli dan Bruno tengah menggoda anak kecil.
Kami lebih banyak mengobrol tentang keseharian, hingga terakhir dia membuka topik tentang Sena. Katanya, Orlando dan Bobby sempat berpapasan dengan Sena beberapa kali di kelab yang sama. Mendengar penjelasannya sekarang membuatku tahu kenapa Orlando memberi kesan tak suka pada Sena saat aku mengajak cowok itu ke Starbucks.
"Dia ganteng, pendidikannya tinggi, Intel kota Solo dan banyak menyelesaikan kasus. Siapa yang enggak kepincut?" Awalnya aku juga merasa seperti itu. Aku tertarik pada Sena ketika dia datang ke klinik dan memelukku karena berhasil menyelamatkan Donies, walaupun saat itu aku tidak pernah berekspentasi tinggi untuk memilikinya.
"Pagi, Adena cantik." Aku menoleh saat mendengar suara yang tidak asing lagi di telingaku. Jamal datang dengan sejuta pesonanya, berdiri di belakangku mengenakan snelli yang rapi dan harum. Aku memutar bola mata, tidak menghiraukannya lantas kembali berjalan setelah mengambil jas yang kugantung di pegangan tangan mobil bagian tengah.
"Kok, cuek?" tanyanya. Jamal berusaha mengejarku dan menyeimbangi langkahku. "Halo, Dokter Hewan Adena Auri Deolinda? Pendengarannya masih berfungsi, kan?"
Aku berhenti tepat di depan meja informasi lantas memutar badan secara perlahan. "Ada apa, sih, Dok?"
Jamal terkekeh lantas memasukkan dua tangannya ke dalam kantong celana. "Kamu kok tiba-tiba ngambek enggak jelas gini?"
Alisku bertemu. Sebenarnya aku sedang bertanya pada diriku sendiri. Kenapa aku marah atas kesibukannya mengumpulkan berkas guna keperluan S-3 yang sebentar lagi akan ia tempuh?
"Dokter enggak pernah bilang kalau mau lanjut studi ke California."
Jamal menurunkan senyumannya, mendadak wajahya berubah menjadi datar. Dia seperti patung, diam di tempat dan bergeming ketika ucapanku langsung pada intinya. Dengan pelan dia mendekat, menarik tanganku dan masuk ke dalam ruang kerja.
Di dalam, dia memelukku sangat lama. Kenapa dia memelukku? Seolah dia tidak ingin berkata apa-apa lagi. Padahal tadi senyum riangnya masih mengembang sempurna dan menggodaku untuk berbicara.
"Dokter?" Aku memanggilnya pelan. Jamal semakin memelukku erat. Rasanya aneh dan aku tidak tahu kenapa pelukan ini terasa nyaman. Pelan-pelan kubalas pelukannya setelah sekian lama bergeming di dalam dekapannya.
"Diam, Den. Aku mau peluk kamu untuk terakhir kalinya."
Apa maksudnya? Aku menemukan alasan atas kekecewaan yang sebelumnya tidak berdasar. Aku tidak ingin dia pergi. Air mataku luruh begitu saja setelah sekian lama tak pernah berbincang dengannya. Aku terisak pelan, membiarkan jas putihnya basah karena tangisanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
After I Knew His Name [TERBIT]
ChickLitDITERBITKAN OLEH LUMIERE PUBLISHING Blurb: "Ketakutanku terlalu ikut campur perihal rindu dan kehilangan." -- Adena Auri Deolinda. Tak ada hubungan yang selalu berjalan mulus. Setiap orang berhak merasakan kebingungan dalam menentukan perasaan. Pen...