[3] More Than Jealous

281 28 4
                                    

"Nama pemilik herder yang rawat inap kemarin sore siapa, ya?"

Aku sengaja bertanya pada Viola. Staf yang ditugaskan khusus untuk menyimpan data-data pemilik hewan dan nama-nama hewan yang dirawat inap di sini. Berbekal tekad yang kuat akan kuseret kemari pemilik hewan itu. Bisa dibilang laki-laki dingin itu tidak acuh dengan kesehatan Bruno—nama hewan tersebut—padahal anjing herder itu sudah menjaga keselamatannya. Aku mendapat kabar bahwa korban penyerangan Bruno adalah pencopet yang mungkin akan merogoh dompet milik pria dingin itu.

"Pak Orlando," jawab Viola ketika file di komputer berhasil ia temukan. Setelah menyebutkan alamat dan nomor ponselnya, buru-buru aku menemui Jamal untuk meminta izin. Sesampainya di ruangan, tidak ada batang hidung Jamal yang membuatku melangkah menuju ruang rawat inap khusus anjing karena kupikir dia ada di sana. Benar dugaanku, Jamal tengah duduk dan mengelus puncak kepala anjing chihuahua.

"Dok," panggilku pelan. Jamal hanya berdeham. Lantas menoleh acuh tak acuh. "Saya mau keluar sebentar," ucapku lirih—sengaja karena tidak ingin membangunkan seluruh hewan di kamar ini. Mungkin Jamal masih marah karena kemarin, data-data yang kuhitung nyaris semuanya salah. Bagaimana tidak salah kaprah kalau Sena terus berkecamuk di dalam otakku?

"Ke mana?" tanyanya tanpa sedikit pun menoleh. Suaranya juga terdengar tidak peduli.

"Saya mau menemui Pak Orlando. Pemilik anjing dengan luka robek kemarin sore."

Jamal berdiri pelan setelah memasukkan anjing kecil itu ke dalam kandang.

"Boleh, kan, Dok?"

Dia tersenyum. "Dari mana kamu membuat aturan itu? Aturan yang bahkan enggak pernah saya lakukan sendiri." Dia diam sebentar. "Saya mana sudi melangkah duluan untuk memberitahu kondisi anjingnya itu," katanya dengan suara tegas seraya berlalu. Menabrak sedikit tubuhku lalu hilang ke ruangan lain. Dari kemarin sore, Jamal seperti uring-uringan. Nada bicaranya pun terkesan ketus.

Tanpa pikir panjang, aku kembali menuju ruangan Viola dan berbicara 4 mata dengannya. Dari kemarin juga kondisi Bruno uring-uringan, terus meringik dengan mata membulat lebar. Bruno menangis saat aku mengusap puncak kepalanya. Mungkin anjing itu merindukan majikannya, tapi pria yang kuketahui bernama Orlando itu tidak peduli dengan kesehatan Bruno.

Klinik sepi. Hanya ada beberapa suara kucing dan anjing. Saat sore, suara-suara itu yang mengisi situasi klinik. Aku duduk diam sembari mengamati Jamal yang sedang membolak-balik majalah parfum. Pekerjaan kami memang tidak terlalu berat. Hanya merawat hewan dan memenuhi bagian waktu atau per-shift. Ini karena kami memang belum terlalu mengambil jadwal bedah-membedah, tugas yang berat pasti diserahkan kepada dokter-dokter tua dan sudah berpengalaman. Aku dan Jamal ditugaskan dari pukul 7 pagi sampai 6 sore, sedangkan 2 dokter muda lainnya ditugaskan pukul 7 malam sampai jam 5 pagi. Tidak berbeda jauh dengan rumah sakit umum, hanya saja kami menangai hewan bukan manusia.

"Mau ke mana?" tanyanya setelah aku bangkit dan berniat keluar dari ruangan ini. Kutatap Jamal dengan sedikit seringai. Bahkan dia masih sama seperti tadi, cuek dan sedikit ketus.

"Kantin," jawabku tak kalah cueknya. Ada benarnya juga, kenapa aku ngotot sekali ingin bertemu dengan Orlando yang jelas-jelas tidak punya hati itu?

Jamal berdiri, meraih pergelangan tanganku. "Saya ikut." Ia menarikku keluar dari ruangan dan melepaskan pegangannya ketika memencet tombol lift.

Ketika sampai di lantai bawah, beberapa paramedik menyapa kami. Kantin terletak dekat dengan parkiran. Mau tidak mau kami harus keluar gedung dan berjalan sedikit jauh. Jamal berjalan mendahuluiku, kedua tangannya masuk ke dalam saku celana dan melangkah seolah tidak ada aku di belakangnya.

After I Knew His Name [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang