Kota tua ini kembali hujan, air yang turun ke tanah lebih beraroma. Aku masih merutuki diri sendiri di depan teras klinik, memikirkan apa yang terjadi pada diriku. Memikirkan hari-hari lalu yang terasa sangat ambang dan bodoh. Hanya aku yang tahu, orang lain pun tidak harus tahu selama aku masih kuat memendam semuanya sendirian.
Jam lima sore, dan aku tidak ingin pulang ke rumah. Mendadak senyum Kenzo tiba-tiba hadir di dalam pikiran. Ada kalanya pikiran ini sibuk mengingat senyum dan tutur halusnya―semacam tidak tega. Namun, ketika masa lalu itu membawaku kembali mengingat kekerasan, seperti ada rasa lain yang harus mengikhlaskannya. Dia berlaku kasar karena emosi, dan hanya sekali dia memperlakukanku seperti itu. Setelah kejadian tersebut, kami pun memutuskan untuk tidak saling mengenal. Dia menjauhiku karena tidak ingin menyakitiku lagi.
"Den." Dewi memanggilku, sepertinya dia bersiap untuk pulang. Dewi sudah memakai pakaian non formal—dengan jaket denim dan sepatu Nike berwarna navy, serta rambut hitam yang terkesan berantakan. "Kok ngelamun? Enggak pulang?" tanyanya sembari membuka payung. Kurasa dia mau menuju parkiran yang berada sekitar 50 meter dari jarak kami berdiri.
"Duluan aja, Wi. Masih hujan."
Dewi menutup payungnya. Dia berjalan mendekatiku, menelik raut wajah yang memang sedang tidak baik-baik ini. "Kamu kenapa? Lagi ada masalah?"
Aku tahu Dewi masih sama seperti dulu. Dia bertanya karena dia selalu peduli, memberi solusi, dan penenang dalam semua sarannya adalah keinginanku sekarang. Aku tidak mungkin bercerita pada Dinda mengenai hubunganku dan Sena yang sudah berjalan terlalu jauh. Lalu tentang Orlando yang menjelaskan semuanya kemarin malam, dan memintaku untuk menerima semua barang-barang mewah itu kembali.
"Wi, aku pengin ke makam Kenzo." Mulutku spontan mengeluarkan ucapan itu. Dewi yang sepertinya terkejut mendengar ucapanku barusan hanya menyipitkan mata.
"Tanpa sebab kamu pengin ke makam Kenzo? Aku tahu kamu lagi ada masalah," tindihnya lagi. Perasaan Dewi memang peka kalau sudah menyangkut masalah hati dan saat aku mengingat Sena, aku ingat foto-foto itu.
Harusnya aku percaya bahwa itu adalah bagian dari salah satu pekerjaannya, tapi aku tidak terima, di sisi lain Sena pun tidak pernah mengirim kabar sejak tiga hari yang lalu. Semua perkataan Orlando seperti mengajakku untuk berprasangka buruk pada Sena. Ini yang aku takutkan, bahwa dia masih sering bercumbu dengan para gadis yang menginginkannya.
"Mau starbucks?" Dewi menggandeng tanganku, volume air terus bertambah, hujan menggoyangkan gagang daun dengan kilat yang mulai menyambar.
"Aku bawa mobil, bentar lagi juga mau balik."
"Enggak usah balik dulu, hari ini Malik jaga malam. Sembari nunggu hujan reda, kita pesan starbucks via gojek aja. Udah lama juga, kan, kita fokus sama klinik? Sekali-kalilah ngopi tipis-tipis di sini. Kasian Malik, dia juga jaga sama Marta doang." Dewi terkekeh, tanpa alasan yang pasti tawa itu menular. "Alay! Enggak usah nolak."
Malik masuk ke ruang pribadi alias 'Doctor's Room'. Beti—kucing oranye berbuntut panjang yang jadi primadona di klinik ini mengikuti kami ke dalam kantor. Aku menggendongnya lalu kuputuskan bersandar pada sofa yang terletak tak jauh dari pintu utama, lantas mengelus bulu si kecil ini dan beberapa detik kemudian kucing berbadan gendut itu mulai mendengkur.
"Yakin Dokter Dewi yang traktir?"
"Iya, buruan pesen!"
Aku terkekeh melihat tingkah konyol mereka. Berada di dekat Dewi selalu membuatku menyunggingkan senyum. Karena canda tawa dan tingkat humornya memang sangat rendah, itulah yang menjadikannya sosok cewek humoris. Apalagi, senyumnya terlampau manis untuk dipandang.
KAMU SEDANG MEMBACA
After I Knew His Name [TERBIT]
Romanzi rosa / ChickLitDITERBITKAN OLEH LUMIERE PUBLISHING Blurb: "Ketakutanku terlalu ikut campur perihal rindu dan kehilangan." -- Adena Auri Deolinda. Tak ada hubungan yang selalu berjalan mulus. Setiap orang berhak merasakan kebingungan dalam menentukan perasaan. Pen...