[28] I Think Every Psychopath Is Like That

189 11 0
                                    

Pagi ini kondisi badanku lemah. Setelah semalam membangunkan Dewi untuk mengantarkan ke klinik, dan mengeluh pada dokter jaga, kuputuskan untuk istirahat selama sehari penuh. Aku mual seperti habis makan nasi basi dan keju bau. Semua makanan yang kulahap kemarin sore keluar tidak tersisa. Perutku rasanya ringan dan lidahku pahit.

"Apa perlu aku kerokin?" Dewi menawarkan jasanya lagi. Aku menolak. Mama pernah bilang, jika sedang mengandung, bagian belakang punggung tidak boleh dikerok. Entah karena apa, tapi untuk berjaga-jaga dan menjauhkan dari hal yang tidak-tidak, lebih baik aku tidak melakukan apa pun selain minum jahe dan makan buah-buahan yang cukup.

"Wajar enggak sih, kalau aku kangen Sena, Wi?" tanyaku seraya menoleh ke belakang sebentar. Dewi masih memijat bahuku. Pelan dia mengangguk.

"Wajar aja kok, Beb. Kamu kangen Sena? Banget, ya?" Wajah Dewi terlampau polos untuk memahami arti ucapanku. Aku terkekeh karena reaksi konyolnya. Bagaimana bisa aku mencegah rasa ini agar tidak muncul? Berulang kali mengirim pesan melalui WhatsApp pun Sena tidak membalasnya. Sesibuk itukah dia di sana?

"Tapi mungkin sebentar lagi kita udahan." Aku tahu konsekuensi itu. Mana mungkin seorang anggota kepolisian mau menikahi gadis sepertiku? Pengajuan nikah, dan segala tetek bengek itu cukup rumit. Apa nanti kata atasan, keluarga, teman-teman dekatnya kalau tahu aku hamil seperti ini? Mustahil Sena mau menutupi semuanya. Walaupun dia memakai lembaga kepolisian sebagai bentuk pekerjaannya yang lain, tapi aku yakin, laki-laki seperti Sena tidak mau memperjuangkanku lagi.

Dia pernah egois, dia pernah menjadi bajingan, dan dia pernah menuruti kemauannya sendiri. Aku tahu itu semua, karena menyadarkan seorang Senation Nataprawira Negara memang sulit. Tahu kenapa dia mencintaiku? Karena aku berbeda dari gadis yang pernah menjajakan kehormatannya pada setiap laki-laki bajingan di luar sana. Namun, sekarang apa? Aku sama seperti para perempuan itu, hamil di luar nikah dengan laki-laki busuk seperti Orlando.

"Aku tahu." Dewi mengangguk kecil. Sebagai sahabat baikku dia pasti kecewa dengan semua ini. Sah-sah saja bahwa dalam relung hatinya, Dewi memakiku. Semua prinsip yang kupegang erat-erat itu sudah lepas, dan sekarang tinggal ampas yang tercampur dalam satu genangan kotor. Hidupku hancur karena satu orang.

"Sekarang makan rotinya, dan kamu wajib take a rest. Aku mau ke klinik. Malik tadi telepon, katanya ada sedikit masalah keuangan."

Aku mengerutkan kening, keuangan? Dewi berdeham seraya bangkit dari ranjang. "Data keuangan kayak ada yang aneh gitu, entah kesalahan hitung atau emang stafnya yang enggak ahli, atau ada yang nyembunyiin tipis-tipis. Malik takut aja kalau beneran ada yang nyolong, terus Dokter Jamal marah-marah."

Marah-marah? Oke, marah-marah. Emosi Jamal memang susah terkendali kalau sudah menyangkut klinik. Dia pernah membentak semua staf karena satu kesalahan fatal―salah menghitung biaya pengeluaran pembelian antibiotik. Jamal adalah pimpinan yang paling tegas, tingkat kerecehannya mampu membuat semua orang tertawa. Namun, amarahnya pun bisa membuat semua orang bungkam.

Aku jadi ingat bagaimana dia memperlakukanku. Dia jauh dari kata bijak. Dia dewasa dalam menyikapi apa pun, bahkan ketika ada donat yang basi dia tidak menyalahkan Marta. Karena saat itu Marta lupa ada makanan yang tersaji di atas kulkas, padahal donat itu adalah titipan dari Jamal. Justru laki-laki itu malah bilang, "Udah kodratnya donat itu basi. Ngapain kamu harus takut saya marahin kamu?" katanya kepada Marta.

Ya ... Jamal memang pencinta donat kelas kakap.

"Den, yeee ... kok malah ngelamun? Kebiasaan."

"Apa sih, Dewi?"

"Aku berangkat, ya. Mau titip apa? Mungkin jam lima aku baru balik."

Aku menyunggingkan senyum untuk Dewi. Aku tidak minta apa-apa.

After I Knew His Name [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang