- : ' 𝙠 𝙞 𝙨 𝙨

3.3K 425 20
                                    

Hari mulai larut, posisi matahari sudah lama berganti dengan rembulan. Gubuk sederhana itu terasa begitu sepi, menyisakan dua orang pria dewasa yang tengah beristirahat. Keduanya berbaring di atas selembar tikar tipis. Hanya ada suara jangkrik dan gesekan padi sebagai latar suara di belakang.

Phupha menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan. Ia kemudian berdeham pelan.

Bola mata cokelatnya melirik ke arah samping kiri. Didapatinya seorang pria ramping tengah tertidur pulas di sampingnya. Pria itu terkapar lemas setelah meneguk 3 sloki Sang Som, wiski khas Thailand yang disuling dari tebu. Raut wajahnya terlihat begitu lelah dengan semburat merah mulai pipi hingga kedua telinganya.

Badan besar Phupha kembali menggeliat, beralih pada posisi tidur menyamping, menghapus jarak yang membatasi tubuh keduanya. Tak berhenti sampai di sana, Phupha kembali memangkas jaraknya dengan Tian. Ia tak tanggung-tanggung menempelkan ujung hidungnya dengan ujung hidung milik Tian. Kini keduanya bisa saling merasakan deru napas hangat masing-masing. Terlalu dekat, juga berbahaya.

Dalam jarak yang begitu intim, Phupha mulai memerhatikan lekat-lekat setiap detil wajah cantik milik Tian. Jantungnya berdebar bukan main. Entah efek alkohol yang tadi ia minum atau sesederhana efek ia jatuh cinta.

Dengan punggung tangan yang sedikit kasar, Phupha menyapu kulit Tian yang pucat halus. Jemari Phupha bergerak mengikuti liuk hidung Tian yang tinggi menjulang bak perosotan anak-anak. Phupha mengelus lembut pipi kemerahan Tian. Badan besar Phupha kini sudah berada tepat di atas Tian. Tangan besarnya menyengkram erat pergelangan tangan Tian.

Cup!

Sebuah ciuman mendarat lembut pada bibir merah Tian. Mendapat serangan fisik tak terduga, sang pemilik mulai tersadar. Pelan tapi pasti, kelopak mata indah Tian mulai terbuka. Mata cokelat Tian semakin terbelalak saat sadar ia tak bisa bergerak sedikitpun. Tangan dan kakinya dikunci.

"Yan," sebutnya, masih lembut, namun tegas. Nafasnya terdengar begitu berat,

"Bisakah kita melakukannya hari ini?"

Tian menggigit bibir bawahnya sendiri, cemas. Tubuh kurusnya menggeliat, mencoba melonggarkan cengkraman Phupha di pergelangan tangannya, namun tak berhasil.

Melihat sebuah pemandangan bibir merah basah di hadapannya, Phupha meneguk liurnya sendiri. Tak ingin merusak suasana, Phupha kembali menunduk hati-hati. Semakin menipis jarak keduanya, Phupha semakin erat memejamkan matanya. Napas berat Tian menerpa wajah Phupha. Phupha melepaskan kedua tangannya, mencumbu pipi halus Tian. Tanpa ampun, Phupha kembali melumat bibir Tian dengan bringas. Ia terlihat seperti pria besar yang hilang arah.

Kali ini, Tian ikut memejamkan matanya. Rasanya tubuhnya memanas dan otaknya ingin meledak saat kedua tangan besar Phupha menyelinap dan memeluk tubuh kurusnya erat.

"Nggak boleh...," katanya lemah di sela ciuman panas. Dalam keadaan setengah sadar, Tian sedikit mendorong tubuh Phupha menjauh darinya. Tian menggelengkan kepalanya pelan. Napasnya terdengar terengah-engah.

Phupha memanggil, "Tian," Phupa mengeratkan pelukannya. Dijatuhkannya kepalanya ke atas bahu kiri Tian. Napas beratnya menerpa leher jenjang Tian.

Masih dengan napas memburu, Tian berusaha menjawab, "Hm?"

"Ayo menikah. Jadilah istriku,"

. . .

"Don't forget to like, comment, and subret!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Don't forget to like, comment, and subret!"

-- rasanya seneng banget bisa nulis chapt ini. lembut banget.

Alpha Centauri ✦ ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang