5 // Hal Manis

94 45 30
                                        

Saat ini Ziva sedang duduk di kursi halte sekolahnya untuk menunggu taksi. Tadi Bella mengatakan bahwa ia tidak bisa mengantar Ziva karena ada urusan, sedangkan mobilnya tidak ia bawa hari ini, masih diservice.

Sedari tadi pikirannya masih saja terngiang oleh ucapan seseorang.

"Jika kamu bersedia gabung, maka hubungi saya"

Ziva pun menatap layar ponselnya, nanar. Tentang apa yang harus ia putuskan nanti, terima atau tidak. Tadi Angga telah memasukkan nomornya kedalam ponsel Ziva agar mudah ia menghubungi Angga.

"Tuhan bingung" ucap Ziva sambil mengusap wajahnya, gusar. "Mana nggak ada taksi yang lewat lagi" lanjut Ziva yang sedang mengedarkan pandangannya.

Sekarang sudah menunjukan pukul 4 sore, dimana sekolahnya telah sepi. Mungkin hanya beberapa yang masih ada, seperti anak eskul atau anak osis.

Ketika Ziva hendak berdiri untuk mengecek taksi, tiba-tiba saja ada mobil hitam pekat melintas didepannya.

"Hei? mau barengan?" ujar pengendara mobil tersebut.

"Fano?" tanya Ziva. "Nggak perlu, duluan aja. Makasih" ujarnya lagi, jual mahal.

"Sekolah udah sepi, taksi juga udah jarang lewat jam segini" ucap Fano, meyakinkan Ziva. "Masih nggak mau ikut, Za?" ucap Fano lagi.

"Z-za?" bingung Ziva sambil terbata.

"Iya Hanzana, nama lo Zeevanya Hanzana kan?" ujar Fano.

Demi apa? Dia manggil gue Hanzana? Tuhan, kebetulan macam apa ini?

Untuk sekian lama telinga Ziva tidak menerima panggilan tersebut lagi setelah hampir dua tahun. Hanzana. Hanya orang-orang yang sangat dekat dengannya lah yang memanggil dengan sebutan tersebut. Bukan orang-orang, tapi satu orang.

"Hei? Kenapa bengong gitu? barengan nggak?" tanya Fano yang sudah berada didekat Ziva---keluar dari mobilnya.

"Gue nunggu taksi aja" ujar Ziva masih dengan keras kepalanya.

"Oh yaudah" ujar Fano, mengiyakan saja ucapan Ziva.

Gadis itupun duduk dibangku halte lagi, diikuti oleh Fano.

Fano ngikutin?

"Kenapa ngga pulang?" tanya Ziva, sambil menatap Fano.

"Masih ada tugas"

"Tugas apa?" tanya nya lagi.

"Tugas buat nemenenin lo sampai dapet taksi"

Deg, kini jantung Ziva berguncang sangat hebat, seperti gempa jantung? Hanya karena ucapan lelaki tersebut.

Nggak, semua cowok itu sama Zi, percaya.

"Nggak usah Fan, pulang aja" ujar Ziva membuang pandangannya dari Fano.

"Yaudah, gue tungguin sampai taksinya dateng" ucap Fano sambil menatap Ziva, teduh. Dan yang ditatap kelihatannya---risih?

Sungguh Ziva sangat tidak suka pada situasi seperti ini. Ia merasa bahwa tak nyaman saja, karena untuk membuka kan hatinya kembali kepada seseorang rasanya dia belum bisa.

Tunggu, emangnya ni cowok mau deketin gue?

...

"Thank's ya" ujar Ziva, yang diantar pulang oleh Fano, terpaksa. Banyak alasan yang membuatnya luluh untuk diantar, matahari yang terlihat sudah meninggalkan garis cakrawala misalnya.

"Sama-sama" ujar Fano.

Ketika Ziva telah menapakkan kakinya di aspal---telah keluar dari mobil Fano. Lelaki tersebut memanggilnya kembali, membuat Ziva harus menoleh.

Belated LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang