1. Angkat Suara

116 7 2
                                    

Setelah menyelesaikan buku The Mark Of Athena karya Rick Riodan, Zoya termenung. Berpikir. Mengapa membaca kini tidak semenarik dulu?

Sekarang Zoya sudah tidak tertarik mengambil kesimpulan dari apa yang dibacanya. Jika dulu dia akan menyimpannya di kepala maka sekarang yang ia butuhkan hanya menghabiskan deretan kata di tiap lembarnya, lalu menutupnya setelah rampung membaca.

Ada yang masih sama, ada pula yang sudah berubah.

Zoya masih suka menghabiskan berpuluh-puluh buku untuk memanjakan matanya. Hanya saja yang berubah adalah cara menikmatinya. Dulu dia merasa bertanggung jawab untuk memahami apa yang dibaca. Namun sekarang, Zoya hanya punya tanggung jawab untuk menamatkan apa yang ia punya. Bukunya masih banyak yang belum terjamah matanya, karena itu Zoya merasa punya tanggung jawab untuk membacanya. Sudah susah-susah membelinya, tidak etis kalau didiamkan begitu saja hanya karena hatinya sedang terluka. Kan, tidak lucu.

Zoya juga tidak menyangka patah hati akan membawa dampak pada apa yang disukainya. Entahlah, Zoya sendiri pun bingung. Dia tetap melakukan kebiasaannya seperti dulu. Tapi yang berbeda, sekarang ini ia menjalankannya seperti tidak punya tenaga.

Dia juga baru paham mengapa kebanyakan orang jadi tidak nafsu makan saat sedang patah hati. Buktinya, setoples penuh kue nastar di meja sampingnya bahkan tidak disentuhnya sama sekali. Padahal biasanya dia mampu menghabiskannya hanya dalam hitungan jam.

Ah, mengingat hatinya yang patah membuat mood Zoya jadi buruk. Lantas, daripada berlarut-larut dalam kesedihan lebih baik dia melupakannya. Tangannya menjangkau kamus Sansekerta yang juga ia bawa kemari. Berusaha mengalihkan pikirannya.

Ngomong-ngomong bahasa Sansekerta, Zoya bukan bermaksud mendalaminya, hanya ingin tahu saja seperti apa itu bahasa Sansekerta. Tapi sepertinya percuma, karena meskipun sudah berulang kali membaca kamus yang tebalnya tidak tanggung-tanggung ini dia tetap tidak paham juga. Dari dulu, pun hingga sekarang.

Kalau ditanya mengapa tertarik dengan bahasa Sansekerta, mungkin dia terinspirasi dari namanya - Mazoya Nirwasita. Neneknya bilang Nirwasita diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti bijaksana. Zoya masih ingat, waktu berumur 12 tahun saat Eyang Putrinya bercerita, yang dia katakan adalah,

“Kenapa bukan Mazoya Jayasri aja eyang, Jayasri artinya kemenangan yang cemerlang. Zoya kan suka kemenangan. Hari raya idul fitri kan artinya hari kemenangan. Zoya suka pas lebaran. Punya baju baru, banyak nastar, roti kacang, kacang telor, tiap hari makan opor ayam sama minum es sirop. Mana dapet uang saku pas salam tempel.”

Kalau sudah begitu Eyang Putrinya akan terkekeh sambil menepuk bokongnya, lalu menjelaskan, “kemenangan belum tentu membuat seseorang bijaksana, tapi kebijaksanaan akan membawa seseorang pada kemenangan.”

Saat itu Zoya belum mengerti makna dari ucapan Eyangnya. Tapi sekarang, saat ia sudah tumbuh besar dan berkembang, saat ia mulai memahami makna tersembunyi dari penjelasan orang yang sangat disayanginya, dia sudah kehilangan Eyang putrinya. Sosok Kartini kedua setelah Ibunya yang amat Zoya junjung tinggi, memilih meninggalkan belahan jiwanya yang dirundung duka. Eyang Kakungnya begitu lemah tak bertenaga karena dunianya pergi saat itu.

Zoya tersenyum mengingatnya. Contoh nyata cinta sejati yang ia saksikan di depan mata. Ah indahnya. Andai saja kisah cintanya juga semanis itu, sudah dipastikan hidupnya akan begitu berwarna.

Dia pernah merasakannya. Iya, dulu, kisah cintanya manis. Manis sekali malah. Tapi dia lupa kalau sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Sama dengan rasa, kalau terlalu manis juga ujung-ujungnya gampang membuat eneg. Benar bukan?

“Kenapa nggak main gitar?”

Meskipun suara itu berhasil menyadarkan Zoya dari lamunannya, tapi dia tidak kaget. Biasa saja. Matanya mencari jam digital di atas meja sampingnya.

UncoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang