4. Perbincangan Sesungguhnya

28 3 0
                                    


Happy reading.. ❤

Sebenarnya jika dibilang mandiri, rasanya kurang tepat bagi Zoya.

Hidupnya terbiasa serba ada. Ada yang membangunkannya saat pagi. Ada yang memasakkannya untuk makan sehari-sehari. Dan juga ada yang mengomelinya saat dia terlihat sedang bermalas-malasan tanpa kegiatan yang berarti.

Seperti yang terjadi saat ini saja. Entah mimpi apa Zoya semalam hingga sekarang dia ditimpa musibah kecil ini. Jam delapan pagi, Zoya sedang asik-asiknya bergelung di bawah selimut saat wanita paruh baya yang teramat disayanginya menerobos masuk unitnya dan mengganggu tidur pulasnya.

Mengapa bisa tiba-tiba begini?
Bunda tercintanya tahu-tahu sudah duduk anteng di ruang tengah dengan tv menyala setelah memberi sedikit pelajaran pada anak gadisnya. Zoya kira tadi hujan, dan atap plafonnya bocor sehingga air merembes lalu menciprati mukanya, tapi tidak dikira tidak dinyana itu adalah ulah Bunda Nita.

Lagipula, kan, Bundanya ada di Jakarta. Bagaimana ceritanya beliau sudah ada di sini dijam yang menurut Zoya paling efektif untuk memejamkan mata?

Hah! Zoya jadi menyesal sudah memberi tahu passcode unitnya ke Bunda.

“Anak gadis jam delapan masih ngorok. Gimana sih kamu ini Zo!”

Bah! Bundanya tidak tahu saja kalau sejak petang tadi Zoya sudah menyibukkan diri. Sudah mencuci piring, menyapu, mengepel, hingga me-laundry pakaiannya. Hanya saja setelah pekerjaannya beres dia kembali merebahkan diri. Niatnya, sih, hanya mau meluruskan pinggag sambil berselancar di dunia maya, siapa yang menduga dia malah jatuh tertidur.

“Tahu gitu Bunda nggak kasih ijin kamu tinggal sendiri. Di rumah aja bantuin ngurus toko roti. Atau kamu yang jadi kurirnya, bantuin Bambang nganter orderan daripada malas-malasan gitu.”

“Bunda ngapain di sini? Emm.. maksudnya, kok, Bunda bisa ada di sini. Mana masih pagi lagi. Bunda kapan berangkat dari rumah?” Kali ini Zoya mencoba peruntungan dengan mengalihkan pembicaraan.

Bukannya apa-apa, kalau sudah menyinggung soal pekerjaan, kadang dia suka gondok sendiri. Otaknya bisa saja berpikir nyantai dengan ke-nganggur-annya, tapi siapa yang menduga jauh di lubuk hatinya dia juga ingin punya pendapatan sendiri. Tapi ya yang namanya rejeki orang, kan beda-beda. Memang rejekinya saja yang belum mau nemplok padanya.

“Sebenernya Bunda udah di sini sejak kemarin sore. Ke rumah Tante Weni, Istrinya Ardan baru aja lahiran,” ucap Bundanya. Sekarang mereka berdua sedang ada di dapur. Sang Bunda sibuk menata kue bolu pandan wangi andalannya sedangkan dirinya duduk bertopang dagu mengamati.

“Bunda kok nggak bilang Mbak Maya lahiran!?” Zoya langsung menegakkan badan. Bagaimana, sih, Bundanya ini! Sepupunya melahirkan, kok ya, dia nggak dikasih tahu. Ardan adalah saudara sepupunya, anak Tante Weni, adik Bundanya yang kebetulan tinggal di Bogor.

“Ya ini Bunda kasih tahu,” Bundanya menjawab enteng.

“Kasih tahu dari kemarin Bunda. Kan, aku bisa ikut ke sana.”

Bunda menghentikan gerakannya menata kue. Memandang lurus anak satu-satunya. “Nggak usah. Kamu ke sana aja nanti pas pengajian, 7 hari lagi. Di sana ada Rayi. Kamu belum siap ketemu dia lagi, kan? Bunda tahu gimana rasanya ketemu mantan. Nggak enak!”

Mendadak tubuh Zoya menegang pada tempatnya. “Rayi…. Pulang Bun?”

“Iya. Kemarin sempet ngobrol bentar sama Bunda. Dia bilang nggak enak kerja di negara tetangga, baru beberapa minggu aja nggak kerasan. Tetep nyaman di tanah air katanya, meskipun gajinya lebih sedikit.”

Selepasnya Zoya merasakan hatinya yang tetiba mencelos. Untuk satu alasan yang pasti, setitik keraguan bersarang di dalamnya. Kini dia meragukan keyakinannya. Dia takut goyah.

UncoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang