7. Modus Wewangian

30 3 0
                                    


Happy reading... ❤

Bogor, dua tahun lalu

"Zo. Kamu mau nggak Tante kenalin sama temennya Mas Ardan?"

Zoya baru saja menghempaskan tubuhnya di sofa setelah membersihkan diri saat Tante Weni bertanya padanya.

Satu jam yang lalu dia baru sampai. Agaknya perjalanan Jakarta-Bogor begitu menguras tenaga. Tangannya yang dipaksakan untuk menyetir terasa seperti mati rasa. Mana dia sendiri, jadi tidak ada yang menggantikannya mengambil alih kemudi.

Andai besok tidak ada acara reuni keluarga di sini, sudah pasti sekarang Zoya sedang asik-asiknya marathon membaca sampai pagi. Apalagi ini tengah libur kuliah. Mutlak sudah tidak akan ada yang bisa mengganggunya berpacaran dengan koleksi buku-bukunya. Membaca sambil menangis Bombay atau tertawa-tawa pongah.

Padahal Zoya sudah merancang kegiatan yang akan ia lakukan selama liburan dari jauh-jauh hari. Tapi.. ya sudahlah. Daripada dia dihujat sanak kerabatnya karena tidak hadir dalam acara keluarga.

Ayah dan Bundanya sendiri sudah sampai sejak tadi pagi. Dan sedang mendekamkan diri. Maklum, tulang mereka tidak lagi sekuat saat di masa muda. Jadi gampang linu-linu kalau tenaganya diforsir agak berlebihan. Apalagi acara intinya masih besok. Jelas, mereka memutuskan beristirahat habis-habisan untu membugarkan badan.

"Siapa lagi, sih, Tan? Perasaan dari dulu, tiap kali aku ke sini selalu mau dikenalin sama orang."

"Ya nggak apa-apa, dong. Lagian dari dulu, kan kamu nggak pernah pacaran. Nggak capek apa menjombo terus-terusan?"

"Yang namanya jodoh udah ada bagiannya masing-masing Tan. Zoya selama ini jomblo ya emang jodohnya belum ketemu."

"Halah. Kepercayaan anak muda itu. Gegayaan lapang dada nerima belum ketemu jodoh, padahal hatinya berdarah-darah. Pingin juga ngerasain disayang-sayang. Eh, Zo, kalau kamu belum ketemu jodoh, ya dicari dong. Jangan cuma ongkang-ongkang berpangku tangan nunggu panah cupid mancep di dada kamu. Anggep aja cupidnya lagi mager. Terus kamu terpaksa turun tangan sendiri. Sekali-kali gitu, kan ngga papa."

Zoya hanya mengangguk-angguk saja mendengarnya. Sudahlah. Dia sudah terbiasa. Adik Bundanya ini memang begini. Gatal sekali kalau lihat anak orang belum punya gandengan. Beliau bahkan sudah terkenal dengan satu gelar, mak comblang. Paling juara kalau masalah menyatukan sepasang anak cucu adam.

"Mau ya, Zo?"

"Ish, apasih tan."

"Ck, kamu ini ya. Anaknya ganteng loh Zo. Temennya masmu. Sebenernya masih nyambung silsilah keluarga sama om kamu, sih. Tapi agak ribet, nanti tante ceritain lengkapnya, deh, kalau kamu beneran minat. Aslinya dia tinggal di deket sini. Pasnya kelewat tiga rumah dari sini. Tapi dia kerja di Jakarta, jadi ya jarang banget balik lagi ke sini."

Lagi-lagi Zoya hanya bisa mengangguk. Ya memang mau bagaimana lagi. Untuk apa juga dia mengeluarkan tampang antusias kalau dari awal Tantenya melempar tanya saja dia sama sekali tak berminat.

"Namanya Rayi, Zo. Anak IT. Baru lulus sarjana 2 tahun lalu."

"Iya Tantee.."

"Iya apa? Iya mau?"

"Iyain, biar cepet. Udah ya, Tan. Zoya mau istirahat dulu. Mau touch up skincare routine. Biar besok muka Zoya lebih fresh pas ketemu keluarga besar."

Tante Weni disebelahnya kontan menganga kala Zoya bangkit dari duduknya. "Loh, heh Zoy! Tante belum selesai ngomong ini!"

"Tante jangan lupa istirahat ya. Semua orang juga udah pada tidur. Malam, Tan."

UncoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang