5. Be Friends After

20 2 0
                                    


Happy reading.. ❤

Memasuki musim dingin membuat Zoya sedikit tersiksa. Badannya yang tidak pernah bersahabat dengan udara bersuhu rendah bisa membuatnya menggigil dan tak pelak kadang membuat kulitnya bentol dan gatal.

Karenanya sekarang Zoya yang sedang mengamati kecekatan tangan Yama harus melilitkan selimut tebal pada tubuhnya.

Menepati perjanjian mereka waktu lalu, keduanya memutuskan balkon Zoya sebagai lokasinya. Tidak. Zoya tidak mengundang Yama ke unitnya. Lelaki itu hanya perlu melompat dari balkonnya sendiri menuju balkon Zoya. Jaraknya tidak sampai satu meter, jadi Yama bisa dengan tenang meloncat tanpa takut badannya akan jatuh mengenaskan dari lantai tiga ini.
Mereka sedang duduk berhadapan dengan tikar yang Zoya gelar untuk alas duduk keduanya.

Zoya menjatuhkan kepala pada lututnya yang ia lipat. Diam mengamati tangan Yama mengutak-atik gitar akustiknya. Bermula dari mengendurkan senar dengan alat yang Zoya sendiri tidak ketahui namanya, mencabut senar gitar, lalu menggantinya dengan yang baru sekaligus mengencangkannya.

Sunyi. Tanpa suara sama sekali. Yama sedang berkonsenterasi dengan pekerjaannya sedangkan Zoya tidak mau mengusiknya. Jadi dari tadi dia diam saja menjadi pengamat.

Bah! Kalau dipikir-pikir, enak ya menjadi gitar. Andai gitarnya itu makhluk hidup bergender wanita, sudah pasti ia akan merona karena dielus-elus pria tulen macam Yama.

Dan entah kerasukan setan apa, pikiran Zoya jadi melanglang buana kemana-mana. Sejujurnya dia sedang tak baik-bak saja. Hatinya lebih tepatnya. Hatinya gundah gulana. Zoya tidak bisa mengabaikan uacapan Bundanya begitu saja. Bagaimanapun juga yang namanya masa lalu kadang-kadang masih bisa menjadi boomerang dimasa sekarang maupun yang akan datang.

"Udah enak belum, suaranya?"

"Hah? Apa?" Zoya tergagap. Dia menggelengkan kepala mengusir apapun itu yang menempel di pikirannya.

Yama mengulangi pertanyaannya, dan suara gitar terdengar kala jemarinya memetik barisan senarnya, yang kelihatannya sudah selesai diperbaiki.

Zoya menajamkan pendengarannya. Mengira-ngira suara hasil petikan gitar Yama. "Enak aja. Saya nggak begitu paham gimana suara gitar yang sempurna."

Yama mangut-mangut. Jemarinya memutar-mutar alat pemutar di bagian headstock sambil sesekali memetiknya.

Zoya menatapnya lurus-lurus dengan intens dan khusyuk. "Kamu kelihatan paham banget masalah perawatan gitar."

Yama mengangkat wajahnya. Melempar kekehan lalu kembali menunduk. "Dulu waktu masih remaja, saya punya grup musik sama temen-temen saya. Masuk pertengahan SMA kami berlima mulai ngisi live music di kafe-kafe. Kebetulan saya pegang dibagian bass."

"Oh ya?"

Yama mengangguk.

"Terus.. sekarang band kamu masih aktif?"

"Udah enggak, Sekarang anggotanya udah punya kesibukan masing-masing. Udah pada necis dan rapi."

Yama menggeleng, seolah keheranan dengan takdir. Dulu, dia dan teman-temannya tidak ada yang benar. Semuanya urakan.

Bersekolah bukan untuk menimba ilmu, tapi hanya untuk menggugurkan wajib sekolah yang dicanangkan oleh pemerintah, atau malah dijadikan ajang mencari jodoh. Melambungkan hati para gadis remaja lalu menghempaskannya ke kerak bumi jika bosan sudah melanda.

Yama pernah membayangkan kesulitan apa yang akan mereka alami di masa mendatang. Tapi ternyata ketakutannya tidak terjadi. Mungkin mereka pernah berbuat kebaikan yang luput dari ingatan.

UncoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang