6. Benar-Benar Sial

23 3 0
                                    

Happy Reading... ❤

Menjelang petang, Zoya mematut tubuhnya di depan cermin. Meneliti dari ujung atas sampai bawah abaya coklat yang melekat di badannya. Selendang ia lilitkan untuk menutupi rambutnya.

Sesuai ucapan Bunda, hari ini Rumah Tante Weni mengadakan pengajian untuk cucunya yang lahir seminggu lalu. Dan Zoya kini sedang menimbang-nimbang seberapa kuat keyakinannya untuk ikut bertandang ke sana.

Zoya sedang takut. Kalau dia ke sana sudah pasti dia akan bertemu dengan... Ah, lelaki itu ya!

Disaat ada acara temu keluarga begini kenapa dia harus balik lagi ke sini, sih? Zoya menggerutu dalam hati.

Sia-sia saja selama ini Zoya menjauh kalau pada akhirnya harus dipertemukan kembali disaat hatinya belum benar-benar bersih dari perasaan menyesakkan yang sialnya juga indah itu. Dia sudah berusaha mati-matian. Masih kurangkah Zoya mempertaruhkan keluarganya? Bukan perkara mudah dia memilih hidup jauh dari orang tua dan juga teman-temannya.

Dan saat usahanya sudah mulai menghasilkan sedikit reaksi positif, dia harus kembali terperosok dalam jurang galau-galau ria lagi begitu? Seolah alam begitu jenaka dalam membolak-balikkan takdir manusia.

Ponselnya yang tengkurap mengenaskan di tempat tidurnya berdering. Zoya sampai terlonjak kaget dibuatnya.

"Ck!" dia berdecak sambil menghentak kaki sebal.

Mengingat masalah hati jadi membuatnya begitu emosional tingkat tinggi.

"Zo, udah berangat belum?"

Suara Bundanya mengalun lembut di seberang sana begitu ia menekan tombol hijau.

Sepelan mungkin Zoya menghela napas agar tidak terdengar Bundanya. Astaga. Dia masih belum yakin untuk pergi. Tapi, ya masa, sih, saudara sepupunya mengadakan pengajian untuk anaknya Zoya tidak hadir?

Dasar. Buah simalakama.

"Ini mau berangkat, Bun."

"Mau Bunda jemput apa kamu berangkat sendiri?"

"Sendiri aja, Bun. Kasian mobil Zoya ngangkrak nggak pernah kepake."

"Oke, oke. Kamu cepetan ya ke sininya. Tante-tante kamu udah pada nanyain, males banget Bunda denger nyinyiran mereka. Kalau Bunda nggak inget mereka seketurunan nenek moyang, udah Bunda obras itu mulutnya."

Uhh, Sadis!

"Iya, Bun. Sabar."

Sebagai sentuhan terakhir Zoya menyemprotkan wewangian dan menyambar tas samping yang sudah ia persiapkan.

"Udah ya, Bun. Zoya tutup. Mau berangkat."

"Ya udah. Hati-hati ya, Zoy. Nggak usah nervous di jalan karena mau ketemu man-"

Tanpa menunggu Bundanya selesai bicara, Zoya mematikan sambungan. Zoya tahu apa yang akan Bundanya katakan. Dan dia sedang malas mendengarnya apalagi menanggapinya.

Dengan langkah tegap dan wajah terangkat Zoya meninggalkan unitnya.

Dia menyerah. Yakin tidak yakin dia harus tetap berangkat. Dia tidak mau menjadi seorang pengecut. Bertemu atau tidaknya dengan lelaki itu, itu urusan takdir. Dan untuk membuktikan seberapa kuat ketahanan hatinya dari godaan masa lalu, bisa Zoya lihat nanti. Jika mereka memang bertemu.

Zoya memandang nelangsa si Brio kuning kesayangannya, yang sejak kepindahannya tidak pernah disentuhnya sama sekali. Untung dia sudah meminta tolong Pak Yanto mengurus segala perawatannya.

"Tiap pagi Bapak panasin Mbak, mesinnya. Jadi, aman."

Pak Yanto menyerahkan kunci mobil padanya.

UncoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang