3. Umpatan Merona

26 4 0
                                    

Happy reading ❤ ...

Mungkin memang waktunya sial, Zoya lagi-lagi mengerang. Sepertinya keterpesonaannya tidak hanya pada penampilan saja. Tapi ini.. Zoya memutar bola matanya.

“Saya nggak punya mobil, cuma ada motor. Nggak papa, kan?” Pertanyaan itu memecah keheningan.

Tidak punya mobil, tapi sekarang mereka berjalan menuju Harley Davidson yang terparkir gagah di depannya. Cuma. Tadi pria ini berkata ‘cuma’. Tidak punya rasa syukur sekali!

Harley Davidson, loh, ini. Wahh, bukan kaleng-kaleng. Bahkan Zoya yakin motor hitam mengkilat ini berkali-kali libat lebih mahal dari si Brio kuning kesayangannya.

Ck! Zoya memijat pelipisnya. Ia harus mulai mengendalikan diri. Matanya sudah jatuh pada pria ini, jangan sampai bagian organ tubuhnya yang lain juga ikutan bereaksi. Apalagi hati. Zoya berusaha mensugesti logika dan peransaannya. Cover-nya sih bagus, yaa nilai sembilan lah, tapi belum tentu dalamnya juga bagus, kan. Siapa tahu dia ini pria kasar, pemarah, atau yang lebih parahnya playboy. Nah, kan. Tidak menutup kemungkinan kalau dia ini penjahat wanita. Sudah tampan, modis, keren pula. Mustahil tidak ada wanita yang tidak klepek-klepek akan pesonanya.

“Oke, nggak masalah, kok.” Untung ia memakai jaket kulit saat ini, jadi kulit mulusnya bisa terhindar dari belaian angin malam yang dingin.

“Pakai helmnya.” Zoya menerima helm yang terulur dan memakainya. Tiba-tiba dirinya dilanda kebimbangan saat melihat jok belakang.

Anjir! kok, sempit?

Kalau duduk di jok belakang yang Zoya perkirakan lebarnya hanya satu jengkal itu, otomatis bagian depan badannya akan menempel pada punggung kokoh itu. Duh, aduh, Zoya mana tahan!

Dan juga kalau dipikir-pikir, Zoya tidak yakin badannya tidak akan mental kalau tidak berpegangan pada si penyetir motor. Tapi, ya masa, sih, Zoya harus melingkarkan tangannya di pinggang Yama? Mereka kan baru kenal, tidak mempunyai ikatan hubungan apa-apa. Lagipula ya, motor sejenis ini itu pantasnya untuk orang pacaran.

“Ini … motornya anu ya, hmm.” Zoya menggaruk pipinya, bingung menyusun kalimat yang pas.

“Anu gimana?”

“Ituu, hnggg. Pajaknya mahal nggak sih? harganya aja kan, selangit.”

Loh, BUKAN!

Bukan kalimat itu yang mau Zoya lontarkan. Ini kenapa bibirnya meleset begini? Zoya sudah geleng-geleng kepala. Kan, kesannya dia seperti orang yang perhitungan.

Selagi Zoya menundukkan kepala tidak punya muka, Yama malah tergelak. Tidak menduga juga pertanyaan random yang sangat tidak berbobot itu bisa tertuju padanya. Ini Yama sebutkan nominalnya saja atau bagaimana?

Masih menyisakan tawa, Yama menjawab, “bukannya riya. Tapi saya yakin kamu pasti tahu kalau sesuatu yang mahal itu biaya pelicinnya juga mahal pula.”

Yasudahlah, kepalang tanggung, Zoya mengangguk-angguk saja.

“Ayolah, berangkat. Keburu malam. Jam setengah delapan toko gitarnya udah tutup.” Tahu-tahu Yama sudah anteng di atas motornya. Lantas saja tanpa membuang waktu Zoya mengikuti, tidak lupa sambil mengumpati posisi badan mereka yang keterlaluan mepetnya. Dia hanya berharap semoga Yama tidak merasakan dentuman jantungnya yang berpacu kian liar di dalam sana.

“Jangan kencang-kencang, ya,” titah Zoya saat mesin motor baru saja mengudara.

“Kencang, apanya?”

Pura-pura bodoh apa memang beneran bodoh, sih, ini orang satu.

“Bawa motonya.” Zoya sengaja mendekatkan wajah pada telinga Yama.

UncoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang