kali kedua (3)

1.3K 135 6
                                        




Kemarin, saat kamu mengetuk pintu rumahku. Aku melupakan satu hal, bahwa hadir dan pulang datang dalam satu paket yang sama.

Seharusnya, kemarin, saat aku mempersilahkan lagi senyummu menyinari sudut rumahku, aku mempersiapkan kelam setelah senyum itu pergi menghilang.

Sekarang aku sadar, bahwa aku sedang jatuh dalam keadaan terbodoh.

Bodoh saat aku mengharap bahwa kau tak hanya singgah. Aku takut kau hilang.

Bodoh setelah bulan dua kali membulat dan aku mencoba melupakanmu, tapi sebanyak itu pula aku mengingatmu. Atau lebih.

Tak banyak kenangan manis yang kau buat, tapi sanggup menghidupi halusinasi masa depan yang otakku buat.

Kali ini sepulang kerja di sore hari, aku melihat siluet dirimu di teras depan rumah. Kau tersenyum tanpa dosa melihatku turun menenteng laptop baru yang aku beli beberapa minggu lalu.

Perihal itu, iya, mungkin kau hanya singgah untuk mengambil kepunyaanmu. Dengan harap, kau bisa membawa pulang kenanganmu dalam diriku. Sehingga tanpa ragu aku langkahkan kaki menuju dirimu yang berdiri saat aku mulai mendekat.

"Windy," kau menyapaku dengan lembut, sumringah wajahmu hanya kubalas dengan senyuman pahit yang aku sembunyikan di kuluman bibirku.

Kau tahu aku tak senang melihatmu datang, lagi.

"Kamu mau ambil macbook, ya? Maaf aku gak bisa anter soalnya aku tanya ke orang yang tinggal di rumah lama kamu, katanya gak tahu jelas kamu pindah kemana," ingin kulanjutkan, ingin sekali menghubungimu dengan dalih yang sempurna, tapi panggilan dariku tak terjawab, satupun.

"Enggak, kok, kalo emang masih mau dipake, pake aja,"

"Aku udah punya yang baru,"

"Oh- gitu,"

"Tunggu sebentar, ya Mac kamu aku ambil dulu," ujarku lalu pergi tanpa mendengar apa yang mau diucapkannya.

Perjalananku menuju teras diinterupsi dengan sepiring kue yang dibawa oleh Bi Noni, asisten rumah tangga kami, "loh kok pake acara kue segala? Udah gak usah dia bentar doang kok" celotehku mungkin terdengar kasar.

"Tapi disuruh Ibu tadi," tatapan takut Bi Noni membuatku bingung dan pasrah wanita tua itu berjalan lurus ke teras.

Dengan malas aku menyusul langkah Bi Noni, membiarkan wanita itu pergi sebelum aku menghampiri lelaki itu, Calvin.

"Ini, Cal," ujarku tanpa mengambil tempat untuk duduk di sampingnya, dengan harapan dia mengerti bahwa aku tidak ingin berlama-lama dengannya, "makasi banyak, ya... ini ada parfum, gak tahu kamu bakal suka atau engga, kalo gak suka kasih ke orang aja."

"Aku pasti suka, kok,"

Entah, jiwa kesalku menggebu hingga berkata, "dicoba aja belum, gimana mau tahu," namun ia hanya tersenyum.

"Ternyata sekesal itu?" Ujarnya yang membuat dahiku mengerut, "kamu istirahat dulu, deh. Aku tungguin di sini,"

Dasar kurang ajar. Tanpa permisi duduk di rumah orang. Kamu bodoh atau pura-pura tidak tahu kalau aku susah payah menghapus semua puing tentangmu. Kenapa kini hadir lagi dengan senyuman yang sama, membuat perasaan sialan ini kembali luluh hanya karena lesung pipimu.

imagine: wenyeolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang