"Teh, ada yang nyusul di depan," Ujar Bi Noni dari daun pintu kamarku.
Sekali lagi aku mematut pantulan diri, ada yang aneh gak ya? tanyaku dalam hati. Sekali lagi kurapihkan helaian rambut yang perlahan mulai tak beraturan. Sekali lagi aku memastikan bahwa aromaku cukup harum dan penampilanku tidak aneh.
"Gue gak aneh kan ya..." entah kenapa pagi atau bisa kubilang subuh ini aku merasa ada yang aneh, tapi kuharap itu bukan dari penampilanku.
"Gak, gue gak aneh," aku mencoba meyakinkan diriku sendiri, hingga saat pintu hampir sempurna kubuka. Sesuatu menarikku untuk kembali mematut diri ke depan cermin besar di dekat meja riasku.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"gak aneh kan? gak, gak aneh" aku mencoba meyakinkan diri, lagi. Lalu dengan langkah ragu perlahan menuju lantai bawah di mana Calvin berada. Aku melihatnya tertidur di kursi tamu. Rasa bersalah menghantuiku sekarang, diperparah oleh kantung matanya yang terlihat jelas menghitam. Jabatannya pasti menuntut banyak tanggung jawab, aku menghela napas, maaf karena merepotkanmu.
Aku mengambil langkah mundur menuju dapur, memasukkan satu kapsul kopi ke coffee maker, memprosesnya lalu memasukkan kopi hangat itu ke tumblr milikku.
Ya Tuhan aku tidak tega membangunkannya.
Maka yang aku lakukan hanya duduk di samping lelaki itu. Sial, aku lupa mematikan alarm di gawaiku sehingga suaranya membangunkan Calvin, "Eh?" Ia tersentak, kulihat matanya yang merah.
"M-maaf" ucapku.
Dia hanya terdiam beberapa saat seraya menatapku, membuatku jadi berpikir, pasti gue aneh.
"Udah siap?" dia bertanya, aku hanya balas anggukan, dia justru terkekeh.
"Aku mau numpang cuci muka dulu, boleh gak?"
"Boleh-boleh, ayo aku anter," tawarku lalu mengantarnya ke arah toilet tamu.
Pagi ini canggung, jelas saja, Calvin yang dari antah berantah tiba-tiba menyelinap tanpa tedeng aling, kembali masuk kedalam rumah, atau lebih luas, hidup Windy.
Dari Kemang ke Depok, perjalanannya kira-kira 50 menit, kalau beruntung. Setiap hari kira-kira Windy menghabiskan 3 jam di jalan sendiri, atau lebih. Tapi kali ini dia tidak sendiri, bukan dengan Ayah juga, tapi dengan Calvin yang wajah bantalnya masih kentara.
"Sorry, ya, Calvin... aku jadi ngerepotin," kataku seraya menatap pria itu sekejap.
"Santai, gak pa-pa, kok, lagi gabut," ujar Calvin.
Kubalas anggukan dua kali, lalu sisanya membiarkan radio mengambil alih.
"Nanti sore, aku jemput, ya?" Tawarnya, sekilas tersenyum kepadaku.