BAB 4

13 1 0
                                    

Kegiatan makan siang-atau mungkin makan sore-ditutup pujian Elnia. Tak lama setelah itu makanan yang ada di masing-masing piring terlihat tak bersisa karena sudah dihabiskan oleh mereka. Elnia yang mengambil makanan dengan porsi yang besar tadi juga sudah menghabiskan makanannya, tanpa ada sisa. Selesai makan, piring-piring kotor sehabis mereka makan tadi ditumpuk menjadi satu dan dibawa ke belakang untuk dicuci.

Piring-piring ditumpuk menjadi satu dalam wastafel tempat mencuci piring. Melihat tumpukan piring kotor itu sebenarnya membuat Elnia kesal. Kenapa? Ia kesal karena piring-piring kotor-yang jumlahnya tentu tak sedikit-harus segera ia bersihkan karena tugas yang diberikan oleh ayahnya.

Tampaknya Elnia tidak lupa akan tugas yang diberikan oleh ayahnya saat dia baru pulang sekolah. Walaupun sebenarnya ia enggan melakukannya, ia tetap harus melakukannya. Hal ini dilakukan karena rasa sayangnya kepada sang ayah. Ia tak mau membuat ayahnya jadi kerepotan mengurus ketiga anaknya, apalagi ia tahu bahwa ayahnya adalah orang tua tunggal.

Dengan cekatan Elnia membersihkan piring-piring kotor itu, ia menggosok setiap bagian dengan spons bersabun sampai bersih, kemudian dibilas dengan air mengalir dari keran di wastafel itu. Piring-piring kotor yang tadi sempat menumpuk sedikit demi sedikit berkurang digantikan dengan piring bersih yang siap ditaruh di tempat asalnya. Karena kerjanya yang cekatan, pekerjaan mencuci piring yang biasanya memakan waktu cukup lama berhasil dilakukannya dengan cepat. Kerja nya yang cepat ini mungkin juga disebabkan kebiasaannya yang selalu mendapat tugas untuk mencuci piring. Elnia pun jadi terbiasa mengerjakan pekerjaan itu.

Cuci piring yang telah menjadi tugas Elnia berhasil diselesaikannya dengan baik. Kini piring-piring sudah bersih dan sudah ditempatkan ke tempatnya. Setelah pekerjaan nya selesai, rasa lelah yang sebenarnya sudah muncul sejak ia mencuci piring baru ia rasakan. Ia baru saja menyelesaikan satu pekerjaan yang bisa dikategorikan 'tidak terlalu berat', tetapi ia sudah merasakan lelah. Elnia pun bergegas masuk ke dalam tangannya untuk mengistirahatkan badannya sebentar.

Elnia memang termasuk orang yang cepat merasa lelah. Baru saja ia melakukan satu pekerjaan, ia sudah merasakan pegal yang menjulur di kedua tangannya. Kondisi inilah yang menyebabkan Elnia tampak gendut di mata adik-adiknya. Meskipun hanya bercanda, perkataan mereka ada benarnya. Ia sebenarnya masih punya cadangan makanan—alias lemak—yang banyak, tapi sayangnya karena ia mudah lelah maka cadangan makanan itu tidak bisa dibakar sepenuhnya. Justru yang ada cadangan makanan itu semakin bertambah karena biasanya Elnia akan makan lagi jika ia merasa capek.

Memikirkan rasa capek yang sedang dirasakannya membuat Elnia jadi memikirkan kondisi ayahnya. 'Baru segini aja sudah capek, bagaimana dengan Papa yang harus mencari uang, tapi tetap bisa mengurus tiga anak sendiri? Pasti lebih capek dari ini.' Itulah yang dipikirkan olehnya.

Ayahnya memang telah menjadi orangtua tunggal sejak satu tahun yang lalu. Ya, satu tahun yang lalu Ibu Elnia pergi meninggalkan keluarganya karena telah dipanggil oleh Yang Mahakuasa. Ibunya meninggal karena menderita penyakit komplikasi.

Selama beberapa tahun terakhir sebelum meninggal, kesehatan ibu Elnia semakin menurun. Awalnya mereka semua mengira bahwa penyakit yang diderita adalah penyakit biasa seperti meriang, demam, flu, batuk, dan pilek. Ditambah dengan pernyataan dari sang ibu bahwa ia baik-baik saja membuat kekhawatiran mereka berkurang. Ternyata, penyakit-penyakit tadi adalah awal dari semakin menurun nya kesehatan ibu. Hingga pada akhirnya baru ditemukan bahwa ibunya selama ini mengidap komplikasi yang tidak diketahui pasti namanya oleh Elnia. Ia hanya tau bahwa itu adalah penjelasan satu-satunya terkait kondisi kesehatan ibu yang semakin menurun hingga akhirnya dipanggil oleh Tuhan.

Tring. Tring.

Terdengar bunyi notif pesan masuk dari smartphone miliknya. Elnia yang baru saja akan meninggalkan kamarnya baru ingat tentang handphone miliknya itu. Sedari pulang sekolah tadi ia belum memegang HP miliknya sama sekali. Untung notif itu mengingatkan nya tentang keberadaan HP-nya. Ia pun segera mendekati asal suara itu dan mengambil HP yang tergeletak di meja dekat dengan tempat tidurnya. Dengan fingerprint Elnia membuka HP itu dan segera membaca pesan yang baru saja masuk, ternyata dari Alvi.

'Nia, gue baru inget kalau topi lo masih ada di gue. Jangan lupa ambil ke gue besok sebelum gue lupa. Kalau gak topinya jadi punya gue.'

Membaca pesan dari Alvi ia jadi ingat tentang kejadian tadi pagi. Sebenarnya topi yang dipinjamkan Elnia bukan miliknya, melainkan punya Alvi sendiri. Tapi, Elnia lebih memilih diam dibanding mengatakan yang sebenarnya.

Pesan Alvi pun akhirnya dibalas oleh Elnia. 'Yaudah topinya buat lo aja.' balas Elnia singkat terhadap pesan Alvi tadi.

'Yakin?' tanya Alvi dalam pesan itu.

'Iya. Kasihan gue sama lo, gak punya topi.' ketik Elnia di layar HP-nya. Tapi, entah kenapa ia merasa kalimat itu kurang pas sehingga ia menghapusnya. Setelah memikirkan matang-matang, Elnia pun mengirimkan pesan. 'Iya.'

'Oke. Thanks, Nia.'

Aku Harap Kau TahuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang