Elnia membuka pintu yang ada di depannya. ‘Masih sepi ternyata,’ gumam Elnia dalam hati. Ia pun segera memasuki kelas tersebut sambil menggendong tas ranselnya. Deretan bangku-bangku kosong yang berada di depan Elnia sekarang hanya tinggal menunggu dirinya ditempati Elnia. Akhirnya terpilihlah bangku kosong baris kedua dari depan dan dua baris setelah pintu.
Bangku-bangku yang ada di kelas Elnia ditata menjadi lima baris ke belakang dan setiap baris ada delapan bangku dan meja. Meja dan bangku tersebut disusun menjadi dua-dua ke belakang. Sebenarnya Elnia bisa saja memilih bangku-bangku kosong yang ada di belakang kelas sana, tetapi ia tahu dengan pasti kalau anak laki-laki akan memilih duduk di situ. Selain itu, Elnia sebenarnya mau tetap memperhatikan guru tanpa harus menjadi perhatian guru. Jika Elnia memilih baris pertama, apalagi bangku yang dekat dengan meja guru, otomatis ia akan diperhatikan oleh guru. Jika Elnia memilih bangku yang ada di barisan belakang, ia juga bisa menjadi pusat perhatian guru. Oleh karena itu, ia merasa bahwa bangku yang ditempatinya sekarang adalah tempat terbaik.
Elnia kini telah duduk di bangkunya. Sambil memainkan smartphone, ia menunggu waktu sampai bel berbunyi. Maklum ia datang kepagian, padahal di tahun sebelumnya ia sering hampir terlambat datang ke sekolah. Berhubungan dengan masuk sekolah, hari ini hari pertama di tahun pelajaran keduanya di sekolah ini.
Elnia bersekolah di SMAN 3 Permata Baru yang sebenarnya bukan sekolah yang benar-benar ia inginkan. Sebenarnya ia ingin masuk ke SMAN 8 Kenanga Indah. Sayangnya, nilai yang dipakai olehnya untuk masuk ke sekolah unggulan itu tidak mencukupi, sehingga terpaksalah ia menerima saran dari kedua orang tuanya untuk masuk ke sekolah ini yang katanya tak kalah unggul dengan sekolah pilihan Elnia. Selain jaraknya yang dekat dengan rumah dan pilihan transportasi yang banyak, Elnia memilih sekolah ini karena adiknya yang baru masuk SMP juga bersekolah di dekat SMA ini.
Memikirkan alasannya masuk ke sekolah ini membuatnya tak sadar bahwa waktu telah berlalu. Kelas yang tadinya sepi, lama kelamaan tambah ramai. Ruangan ini satu persatu dimasuki oleh para murid yang kemudian memilih tempat duduknya masing-masing. Deretan bangku-bangku kosong tadi perlahan hilang dan digantikan dengan bangku yang ditempati tas dan murid-murid itu. Kalau dihitung-hitung jumlah bangku kali ini pas dengan jumlah siswa yang ada di sini. Itu artinya bangku kosong yang ada di sebelahnya juga akan terisi oleh salah satu murid, entah siapa itu.
Walaupun ini adalah tahun keduanya di sekolah ini, Elnia belum dapat beradaptasi dengan baik. Elnia adalah tipe orang yang—kata orang pendiam—padahal jika sudah mengenalnya Elnia bisa menjadi sangat cerewet. Sayangnya kesan yang ramah tidak bisa ia tunjukkan dengan baik. Untunglah di sekolah ini masih ada yang mau berteman dengannya, walaupun saat ini teman-temannya berada di kelas lain dan ia ditinggalkan sendiri di sini. Andai saja teman-temannya itu sekelas dengannya, ia tak perlu repot-repot menunggu lama ditemani oleh kebosanan.
“Nia!” sebuah suara membuyarkan lamunan Elnia. Tidak salah lagi yang memanggilnya barusan adalah orang itu karena hanya dirinya yang memanggilnya dengan sebutan 'Nia'.
“Kenapa Al?” akhirnya Elnia membalas panggilan dari orang tersebut. Sambil memasang muka kaget dan kesal, ia menatap orang itu. Orang itu adalah Alvi, teman dekatnya dari kelas 1 SMA.
“Kok lo daritadi dipanggil bengong aja sih? Capek tau manggil lo berkali-kali, tapi dikacangin mulu. Emangnya lagi mikirin apa?” Jawab Alvi dengan nada kesal dan menggerutu. “Jangan-jangan lo lagi mikirin gue, ya? Cie...” celetuk Alvi asal.
“Apaan sih Al, gak jelas banget.” Balas Elnia dengan nada kesal. “Oiya, tadi katanya lo manggil gue berkali-kali. Kenapa emangnya?” Kini Elnia pun tersadar bahwa Alvi sedari tadi memanggilnya.
“Oh itu, gue duduk di sebelah lo, ya. Soalnya udah gak ada tempat lagi.” Kata Alvi sambil menunjuk tempat duduk kosong yang berada di samping Elnia.
“Yaudah, duduk aja.” Jawab Elnia dengan nada cuek sambil memperhatikan kelas yang sudah ramai dipenuhi oleh para murid. Benar kata Alvi tadi. Tak ada satupun bangku kosong yang tersedia di kelas itu. Setiap bangku yang ada di kelas itu sudah terisi penuh, kecuali bangku yang ada di samping Elnia.
Kringggg...kringggg...kringggg...
Bel sudah berbunyi tiga kali, itu tandanya anak-anak yang berada di dalam kelas diminta untuk segera turun ke lapangan karena upacara hari pertama masuk sekolah akan segera dimulai. Padahal rasanya baru saja Elnia datang dengan keadaan kelas kosong, sekarang upacara justru akan segera dimulai. Waktu memang cepat sekali berlalu. Elnia pun mengambil topi abu-abunya dan bergegas menghampiri teman-temannya yang juga keluar dari kelas lain, meninggalkan Alvi yang masih sibuk mencari sesuatu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Harap Kau Tahu
RomanceElnia terkejut ketika melihat orang yang ada di hadapannya kini. 'Untuk apa orang itu datang kemari? Dalam rangka apa ia kembali kemari? Apakah ia bermaksud untuk meminta maaf... atau..?' pikiran Elnia melayang-layang entah ke mana. Orang yang telah...