chapter 3

71 26 8
                                    

"Jadi kamu yang tadi sempet berantem sama most wanted SMA Tunas bangsa?" tanya Diana dengan heboh.

Diana itu bisa dibilang teman baruku, aku sudah memasuki kelas sekitar 1 jam yang lalu dan sudah memperkenalkan diri di depan teman-teman sekelas.

"Most wanted katamu?"

"Iya bil, itu tuh namanya garka manusia terganteng di SMA Tunas bangsa."

"Iya sih ganteng, tapi nyebelin."

Diana tersenyum padaku, "dia itu orangnya dingin banget kayak es, cewek-cewek pada tergila-gila sama dia tapi dianggurin gitu aja. Mungkin dia belum bisa lupain Rafa mantan dia yang udah meninggal 1 tahun yang lalu."

Aku yang sedang meminum air mineral tiba-tiba tersedak mendengar cerita singkat dari Diana tentang Garka, seseorang yang sudah menabraku satu jam yang lalu.

"Uhukkk– apa kamu bilang? Kok bisa meninggal?" tanyaku dengan penasaran.

"Iya meninggal gara-gara kecelakaan. Udahlah yuk balik ke kelas bentar lagi bel pulang," ajak Diana sembari menarik tanganku untuk pergi meninggalkan kantin.

***

Sekarang sekolah sudah lumayan sepi, hanya tersisa beberapa orang saja. Entah kenapa Pak Parto belum menjeputku, padahal aku sudah menunggu 20 menit lamanya.

Aku yang sedang duduk di halte depan sekolah tiba-tiba dikejutkan dengan suara montor yang berhenti tepat di depanku.

Aku tidak tau siapa dia, helm yang ia kenakan menutupi wajahnya, tetapi sepertinya dia anak SMA Tunas Bangsa karna seragam yang ia kenakan sama denganku

Dia membuka kaca helm-nya, aku terkejut sungguh. Dia adalah garka orang yang pertama kali menabraku, orang yang berhasil membuatku gugup jika berada didekatnya.

Aku masih menatap dia dengan tatapan tidak percaya.

"Woy! Lo ngapa disini sendirian? Mau ngamen Lo!? teriaknya yang masih duduk di atas montornya.

"H ... ha? I ...ih enak aja, aku lagi nungguin jemputan." Maaf aku benar-benar gugup.

"Dari pada Lo jamuran disini, ayok gue anter," ajaknya.

Apa ini? Dia ingin mengantarku? Apa aku tidak salah dengar?

Aku masih terdiam sampai akhirnya dia berbicara kembali. "Buruan naik apa mau gue gendong?"

Sudah hentikan drama ini Tuhan, jantungku berdetak tidak beraturan seperti ini, pipiku sudah berhasil bewarna merah seperti kepiting rebus. Sialan kenapa aku jadi seperti ini.

Aku berusaha untuk tetap bersikap biasa saja. Mungkin aku harus menerima tawarannya, lagi pula Pak Parto belum datang menjemputku.

Aku naik ke atas montornya dengan gugup.

Selama di perjalanan kita saling diam, tidak berbicara apapun. Selama di perjalanan juga aku sedang sibuk mengontrol detak jantungku hingga suara dia kembali terdengar.

"Ini rumah Lo? Bener kan blok lima?" tanyanya kemudian menghentikan montornya.

Astaga aku sampai tidak sadar jika aku sudah berada di depan rumah, ini lah akibatnya jika sedari tadi aku melamun.

Aku turun di atas montornya, merapikan anak rambutku yang sedikit berantakan karena angin. Aku tersenyum kearahnya, tetapi aku tidak bisa melihat apakah dia membalas senyumanku atau tidak, karena dia tidak melepaskan helm-nya. Kemudian dia tiba-tiba saja melajukan montornya, pergi meninggalkan aku yang sedang berada di gerbang rumah. Padahal aku belum mengucapkan kalimat terimakasih.

"E–eh kok pergi? Aku belum bilang makasih!" teriakku dengan kencang, sepertinya dia tidak dengar.

"Dasar manusia aneh, eh emm tapi ganteng," gumamku dalam hati.

***

Aku memasuki halaman rumah, tiba-tiba saja telingaku mendengar suara keributan.

"Mending kita cerai!" teriaknya dari dalam, sepertinya itu suara papa.

"Lalu bagaimana dengan anak itu? Sabil bawa kamu aja mas! Saya tidak ada waktu untuk mengurus anak itu!" jawab mama dengan suara yang begitu keras.

"Tidak Sudi, urusin kamu saja! Kamu kan ibunya!"

Suara itu yang bisa ku dengar di halaman rumah, hatiku serasa dihantam badai begitu saja setelah mendengar semua perdebatan orang tuaku. Apa mereka akan cerai? Lalu mereka tidak ada yang Sudi mengurusku? Oh plis lelucon apa yang sedang terjadi sekarang.

Air mataku mulai mengalir membasahi pipiku, aku tertunduk lemas di halaman rumah. Cukup mereka saja yang menyiksaku setiap hari, aku tidak apa-apa asalkan jangan sampai bercerai.

Aku berjalan melewati halaman belakang, mencari jendela kamarku. Aku tidak ingin lewat pintu utama karena mama dan papa sedang bertengkar di sana. Bisa-bisa kedatanganku malah semakin merusak segalanya.

Aku memilih masuk melewati jendela, menangis di dalam kamar, bercerita kepada Tuhan tentang masalah hidupku. Itulah cara terbaik yang aku lakukan untuk menenangkan diriku.

Me and my broken heartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang