chapter 4

60 24 1
                                    

***

Aku masih duduk terdiam di pojok kamar tidur, dengan mata yang seperti hewan panda dikarenakan air mata yang terus-menerus mengalir dipipiku tanpa henti.

Memikirkan semua hal yang terjadi dihidupku, memikirkan takdir yang mungkin bisa dikatakan begitu jahat padaku, apa aku yang kurang bersyukur?

Suara tadi, suara pertengkaran Mama dan Papa masih terngiang dipikiranku. Jika perceraian merupakan jalan yang terbaik aku ikhlas, lagi pula mereka tidak saling mencintai, mereka menikah hanya karena terpaksa. Aku ini anak haram anak yang di buat dari ketidaksengajaan bukan dari rasa cinta.

Aku meremas kepalaku, mengacak rambutku dengan frustasi. Setetes darah mengalir dihidungku, aku tidak tau ini apa sepertinya aku hanya mimisan, aku mengelapnya dengan tanganku.

Aku membaringkan tubuhku ke atas kasur, tiba-tiba saja pikiranku tertuju kepada orang yang sudah hadir dihidupku satu hari ini. Orang yang sudah berhasil membuat detak jantungku tidak beraturan bila berada didekatnya.

"Garka," gumamku pelan.

"Ah kenapa aku jadi memikirkan dia? Apa ini ... Tidak tidak mungkin aku...." ucapku kepada diri sendiri, membuang pikiranku jika aku jatuh cinta kepadanya.

Lagi pula aku mengenalnya baru sehari, tidak mungkin kan aku jatuh cinta padanya? Apa memang cinta datang secepat itu?

Aku menenggelamkan kepalaku ke dalam selimut, aku tidak ingin terlalu memikirkan hal itu.

****

Suara gebrakan pintu berhasil membuatku terbangun dari tidur singkatku, itu rupanya Papa, dia berjalan ke arahku dengan tatapan datar dan aku dengan ekspresi masih terkejut.

Dia berdiri di samping kamarku, melihat ke arah jendela bukan ke arahku. "Setelah saya dan Mama kamu pertimbangkan, kami memilih untuk bercerai, dan didalam surat pengadilan hak asuh anak jatuh ke tangan saya, dan rumah ini saya berikan kepada Mama kamu, sekarang kamu harus bersiap-siap untuk pergi dari rumah ini," ujarnya dengan dingin.

Aku terkejut mendengarnya, seperti di sambar petir begitu saja. Air mataku hampir akan turun, tapi sebisa mungkin aku tahan, aku tidak mau Papa melihatku menangis.

"Baiklah, jika memang itu pilihan yang terbaik Sabil terima Pa, Sabil ikhlas," ucapku dengan suara gemetar.

Papa berjalan meninggalkanku tanpa berbicara sedikitpun.

Aku menutup pintu kamar lalu menangis, menangis tanpa suara ternyata begitu menyakitkan. Membereskan semua peralatanku, memasukan baju-bajuku ke dalam koper, memasukkan buku-buku ke dalam tas lalu semua sudah siap, aku keluar dari kamarku dengan membawa koper besar.


Di ruang tamu sudah ada Papa yang rupanya sudah menungguku, dan Mama yang duduk dengan santai tanpa ada ekspresi sedih sedikitpun.

Aku tersenyum kecil, berlari ke arah Mama, memeluknya sebagai salam perpisahan dariku.

Belum sempat aku memeluknya, "apa-apaan ini, udah sana pergi dengan Papa kamu" bentaknya sembari mendorong tubuhku untuk menjauh darinya.

Hatiku perih, perih sekali, aku hanya ingin memeluknya, memeluk seorang ibu. Tetapi rupanya dia tidak mau menerima pelukan dari seorang anak haram, padahal di dalam tubuhku masih mengalir darah darinya.

Aku hanya bisa tersenyum kecil, "jaga diri Mamah baik-baik ya, Sabil akan selalu doain Mama, Sabil pamit dulu ya," ucapku mencium tangannya, terpaksa aku harus segera pergi dari sini, aku tidak mau membuat Papa marah karena sudah menungguku terlalu lama.

***

Di perjalanan aku hanya terdiam, melihat kendaraan yang berlalu lalang di Jakarta dari kaca mobil. Berharap ini hanya mimpi, tapi sepertinya ini benar-benar kenyataan yang harus aku terima.

Mobil Papa berhenti di sebuah rumah yang cukup bisa dibilang besar. Rupanya rumah ini tidak jauh dari rumah Mama dan sekolahanku, setidaknya aku bisa sedikit tenang.

Aku keluar dari mobil dengan membawa tiga koper besar, 1 koperku dan 2 koper Papa. Papa sudah berjalan di depanku tanpa menungguku terlebih dahulu.

Aku mulai memasuki ruangan rumah ini, rumah ini mewah, desain yang modern dan warna yang senada, putih dan biru aku suka warna itu.

Aku diantar oleh Bibi untuk menuju kamarku, sepertinya Papa sudah mencari pembantu untuk rumah ini.

Menaiki anak tangga yang lumayan banyak, untung saja bibi membantuku untuk membawakan koper.

Bibi berhenti di sebuah ruangan dengan pintu yang bewarna putih dan biru itu, langkah kakiku pun ikut berhenti.

"Ini kamarnya Enon," ucap bibi sembari membukakan pintu kamar itu.

Aku tersenyum kecil, "terimakasih Bi."

Lalu bibi pergi meninggalkanku, ingin membereskan peralatan Papa katanya.

Aku mulai masuk ke dalam kamar itu, seketika aku tercengang melihat isi di dalamnya. Warna yang didominasi dengan indah, kasur yang lumayan besar dan jendela yang bertepatan dengan taman, sepertinya ini lebih mewah dari rumah yang kemarin.

Aku berjalan menuju kasur itu, membaringkan badanku, memijat bagian pelipisku. Aku benar-benar lelah.

Me and my broken heartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang