16. Guess Too Fast

94 31 5
                                    

—Selamat Membaca—

Acap kali terlalu cepat menerka, menyimpulkan tanpa mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya, dan di situlah letak kesalahannya.

***

Winter memejamkan kedua netra sesaat semilir angin kembali berembus, menyapu lembut wajahnya yang kemudian menciptakan sensasi kesejukan. Lagu Night Changes dari grup vokal One Direction mengalun merdu melalui earphone putih yang terpasang di kedua indra pendengarannya.

Bel istirahat telah berbunyi beberapa menit yang lalu. Dan gadis berambut keriting panjang itu memilih menghabiskan waktu istirahatnya di rooftop SMA Buana Bestari dibandingkan kantin yang pastinya penuh akan hiruk pikuk manusia.

Mauza dengan ucapan yang dilontarkan gadis itu tadi pagi berhasil mendominasi pikiran. Winter masih tidak mengerti ada apa dengan sahabatnya yang satu itu. Bahkan, ketika ia berbaris dengan anggota paduan suara pagi tadi, Mauza bersikap seolah tidak mengenalnya sama sekali.

Jika begitu, siapa yang sebenarnya berubah? Winter? Sejak kapan dan apa yang sebenarnya berubah dengan dirinya?

Buntu. Itu yang justru Winter dapatkan setiap kali ia mencari jawaban. Ia seolah terkurung di lorong sunyi dengan tanda tanya yang tiada henti mengelilingi.

"Coba lo inget-inget lagi, Win. Siapa tau, 'kan, lo enggak sadar pas tiba-tiba berubah jadi power ranger."

"Atau spiderwoman?"

"Buto ijo? Eh, 'kan, lo sukanya warna cokelat ya. Jadi buto cokelat, dong, berarti."

Kedua netra cokelat terang Winter menatap jengkel pemuda yang duduk di sampingnya. Althaf dengan mulutnya yang sedari tadi tidak bisa diam.

"Berisik! Enggak lucu, tahu!" sewot Winter kemudian memperbesar volume gawainya. Berusaha agar suara Althaf tidak kembali memasuki gendang telinganya.

Althaf mengalah. "Oke, oke, baiklah Win-Win. Mendingan sekarang lo makan dulu. Banyak pikiran juga perlu tenaga, entah-entah lo besok tinggal nama," ucapnya santai sembari menyodorkan sebungkus nasi goreng, roti cokelat, dan juga susu cokelat.

Winter melepas earphone putihnya lalu berkata, "Pengin marah, sih, tapi enggak baik marah-marah di depan makanan. Memangnya kapan kamu ke kantin, Thaf?"

"Kapan-kapan," jawab Althaf asal. "Buruan dimakan. Enggak usah banyak tanya."

"Cuma basa-basi aja, sih, ya," balas Winter tak peduli lalu mulai menyantap nasi gorengnya. Menikmati makanan yang entah bagaimana caranya selalu terasa lebih sedap jika itu pemberian orang lain. Gratis.

"Biasanya kalau istirahat gini kita bakalan bantu Mauza jualin jasukenya. Terus, makan bareng, deh, di kantin."

Mendengar itu, Althaf manggut-manggut tanda membenarkan.

"Sekarang siapa yang nemenin dia jualan, ya, Thaf?"

Althaf menoleh ke arah Winter yang baru saja melontarkan pertanyaan dengan suara yang memelan. Netra cokelat terang gadis itu terkunci ke luasnya cakrawala, pada awan-awan yang bagaikan kapas berhamburan. Melupakan nasi goreng yang berada di pangkuan.

"Divelia, mungkin. Si iblis yang satu itu, 'kan, yang sekarang jadi temannya," sahut Althaf setengah menyindir, yang bahkan si objek pembicaraan mereka tidak ada di sana.

Winter menggelengkan kepala. "Seharusnya kamu tetap bantuin dia, Thaf. Gimanapun juga, kamu itu udah kayak aset berharganya jasuke si Mauza. Yang biasanya menarik pembeli, 'kan, kamu?" ucap gadis itu sembari terkekeh di ujung kalimatnya.

Winter in LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang