29. Realisasi dari Ekspektasi

116 20 13
                                    

—Selamat Membaca—

Usaha erat kaitannya dengan hasil yang akan didapatkan. Kesusahpayahan yang sebelumnya dilalui, kemudian pasti terganti. Apa yang diharapkan, jika kita berupaya merealisasikannya dengan sekuat tenaga dan doa. Maka, kecil kemungkinan untuk kita berujung kecewa.

Usaha, doa, ambisius dalam merealisasikannya adalah kunci utama.

***

Althaf menghentikan motor hitamnya tepat di depan pagar yang mengelilingi rumah dengan tipe modern minimalis yang tak lain adalah kediaman keluarga Zavier. Winter segera beringsut turun dari jok belakang motor pemuda itu dan melepaskan helm berwarna cokelat susu dengan polkadot putih miliknya.

"Mau mampir dulu?" tawar Winter usai merapikan anak rambutnya yang ia rasa sedikit berantakan.

Satu alis Althaf terangkat heran. "Tumben lo nanya gitu ke gue."

Gadis berambut keriting panjang di depannya meringis ringan, Winter tampak menggaruk pelipisnya sekilas. "Ya, enggak kenapa-kenapa. Lagian aku cuma basa-basi, ya." Winter hampir menepuk dahi ketika merasakan nada suaranya justru terdengar sewot. Niat awal ia menawarkan hal itu karena ingin berterima kasih kepada Althaf, sebab pemuda tersebut yang membantu menjelaskan semuanya dengan Mauza.

Althaf mendengkus. "Gue langsung balik aja, deh."

"Althaf?" Winter merapikan anak rambutnya kembali ke belakang telinga sesaat angin lagi-lagi mendesir di antara mereka. "Makasih, ya," tutur Winter sembari tersenyum tulus.

"Gue udah sering nganterin lo pulang, baru sekarang ngucap terima kasihnya?" decak pemuda itu yang rupanya salah paham.

Kali ini Winter benar-benar tak bisa menahan agar tidak menepuk dahinya. "Maksud aku itu makasih karena kamu udah bantuin ngasih penjelasan ke Mauza, Altapir."

Sebentar kemudian pemuda di depan Winter terlihat mengangguk paham. "Sebagai bentuk terima kasih lo, besok jalan sama gue, mau?" Althaf menatap intens Winter, menunggu jawaban seperti apa yang akan dilontarkan oleh gadis itu.

"Oke," setuju Winter. Lagi pula, usai mendengar pengakuan Mauza kala itu, tak ada lagi perasaan yang mesti Winter khawatirkan. Dan semenjak Aleta tiada, Winter juga tak memiliki kegiatan apa pun di akhir pekan. Tidak ada lagi kebiasaannya menjenguk Aleta. Hanya saja sesekali Winter masih menemani Althaf latihan basket. Di luar dari itu, Winter menghabiskan akhir pekannya dengan bermalas-malasan.

Althaf mengulas senyum manisnya. "Ya sudah, kalau gitu lo masuk sana. Jangan lupa kunci pagarnya lagi. Salam juga sama bokap-nyokap lo dan kak Sam, ya."

Winter menganggukkan kepalanya dua kali.

"Sampai jumpa besok, Win-Win," ujar Althaf seraya mengusap puncak kepala Winter. Membuat gadis itu menarik napas pelan akibat perlakuannya. Ada kikuk yang menyertai Winter sekejap.

Usai Winter berhasil mengendalikan diri, gadis berambut keriting panjang itu melambaikan tangan, sebelum kemudian beranjak membuka pagar rumahnya dan tak lupa mengunci kembali.

Althaf lagi-lagi menarik kedua sudut bibirnya di saat sosok Winter lenyap di balik pintu utama rumah gadis itu. Althaf beringsut menjalankan motor hitam masih dengan senyum yang tercipta di wajah tampannya. Pemuda itu tak bisa mengelak bahwa ada kebahagiaan tersendiri ketika ia melihat air muka Winter yang semringah usai berbaikan dengan Mauza. Althaf pastikan, besok hari, Winter akan lebih bahagia dari hari ini. Semoga saja.

***

Makan malam hari ini benar-benar terasa berbeda dari sebelumnya. Terhitung sejak Shamora memilih berdamai dengan Aleta. Ibu dari Summer dan Winter itu rupanya sungguh-sungguh berkeinginan memperbaiki keadaan. Bukan hanya pada hubungannya dengan keluarga besarnya, tetapi juga pada keluarga kecilnya.

Winter in LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang