5. Menghabiskan Waktu

172 47 19
                                    

Selamat Membaca

Kita memang tidak benar-benar tahu kapan waktu akan berhenti, tapi kita bisa mengisi detik-detik yang dimiliki dengan momen yang berarti, yang akan tetap tersimpan di ingatan kendati netra terlampau sukar untuk bertatapan.

***

Mungkin, jika saja bel istirahat tidak menyuarakan diri, Winter dan Mauza tak akan mau beranjak dari perpustakaan. Winter yang sudah larut dalam dramatisnya adegan di novel, sedangkan Mauza yang terlalu bersemangat karena jaringan Wi-Fi perpustakaan yang anti sendat, membuat siaran langsungnya lancar tanpa hambatan. Akan tetapi, perut mereka terus meronta, meminta agar segera diberi pasokan makanan. Karena itulah, dua gadis dengan ukuran tubuh yang berbeda tipis itu kini tengah melalui koridor menuju kantin.

"Aku ke stan makanan. Kamu minuman, ya. Biar cepat, nih. Udah lapar banget soalnya," keluh Winter sembari menepuk perut. Tidak banyak kata, Mauza mengangguk setuju. Tandanya, gadis itu juga merasakan hal yang sama dengannya.

Beberapa menit kemudian, mereka kembali ke titik semula. Dengan masing-masing membawa satu nampan. Kedua gadis itu dibuat diam ketika mendapati semua meja di kantin telah penuh terisi. Kecuali, satu. Meja dengan seorang cowok duduk seorang diri di sana, dengan tatapan fokus pada gawainya.

"Althaf enggak makan?" tanya Winter yang sebenarnya hanya basa-basi. Gadis itu mengambil tempat duduk di seberang Althaf, lalu disusul oleh Mauza yang duduk di sampingnya.

Tidak ada jawaban yang didapatkannya. Alis gadis berambut keriting panjang itu mengerut. Tak terlalu mempermasalahkan, Winter memilih menikmati makanan.

"Ada apa, sih, Thaf? Gara-gara yang di perpustakaan tadi?" tanya Winter sekali lagi. Mengungkit di mana Althaf yang menyerah setelah disergap kebosanan memilih keluar perpustakaan diiringi oleh cibiran darinya dan Mauza.

"Yakali! Gue bukan kalian yang suka baperan, ya," sangkal pemuda itu dengan cepat.

"Maaf, ya. Kalimatnya tolong diralat. Bukan baperan, tapi karena kami punya hati yang berperasaan, bukan cuma jantungnya doang!" balas Winter tancap gas.

"Memangnya siapa yang punya jantungnya doang?" sahut Althaf.

"Ya, kamulah! Siapa lagi, pohon pisang?" balas Winter lagi.

"Tuh, 'kan. Terbukti baperannya," tunjuk Althaf sembari terbahak-bahak.

Mauza yang sedari tadi diam hanya berperan sebagai pengamat menggelengkan kepalanya. "Udah, Thaf. Suka banget, sih, cari perkara." Gadis itu memukul bahu Althaf yang langsung diacungi jempol oleh Winter.

Althaf mengalah, yang dilakukan oleh pemuda itu selanjutnya adalah bergerak menaruh gawainya ke saku seragam. Dengan tangan yang saling bertumpu antara satu dengan yang lain di atas meja, mata hitam kelamnya bergantian menatap Winter dan Mauza yang kembali melanjutkan kegiatan makannya.

"Jadi, barusan aja gue disuruh belikan jersei, nih, buat anak basket. Senior yang biasanya bertanggung jawab sama bagian itu lagi ada kesibukan lain. Tolong, ya, temenin gue. Tinggal bentar lagi turnamennya soalnya," jelas Althaf panjang lebar yang berujung permintaan. Jiwa kalemnya yang sempat melanglang buana beberapa saat lalu telah berpulang ke raganya.

Tepat seusai Althaf berbicara, dua orang kaum hawa di depannya itu mendengkus, persis seperti apa yang sudah ia tebak. Althaf tahu, Winter dan Mauza sama-sama tak terlalu suka bepergian ke tempat-tempat seperti itu, pusat pembelanjaan maksudnya. Ingin meminta bantuan dari anggota basket lainnya pula, Althaf segan karena masing-masing telah diberikan tugas secara adil. Dan, jika pergi sendiri, 'kan, dia punya sahabat, yang harapannya mau menemani.

Winter in LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang