13. Juga Bisa Tiada

88 33 2
                                    

Halloo~~jangan lupa vote yaw😉

-Selamat Membaca-

Di mana yang selalu ada juga bisa tiada, yang senantiasa menemani tak menutup kemungkinan untuknya pergi tanpa prediksi jua permisi.

***

Embusan napas kembali keluar ketika indra penglihatan Winter lagi-lagi melihat ke arah jam dinding yang melekat di tembok ruang keluarga. Sudah menunjukkan pukul delapan pagi dan ia belum juga berangkat ke rumah sakit seperti akhir pekan sebelumnya.

Ada yang berbeda hari ini dan itu sukses menghambat rencana seorang gadis dengan rambut keriting panjang yang kini mencebikkan bibirnya kesal. Pasalnya, sang papa--Zavier--tengah duduk santai di sofa panjang yang berada di ruang keluarga. Tatapan tegasnya itu terkunci oleh tayangan televisi yang menampilkan berita terkini. Tidak sedikit pun merasa terganggu dengan anak perempuannya yang duduk di sampingnya yang sedari tadi tak bisa diam. Mendengkus, berdecak, menghentakkan kaki pendeknya ke ubin lantai.

"Papa beneran enggak ada kerjaan hari inikah?" Winter memberanikan diri untuk bertanya. Sekadar memastikan sampai kapan Zavier akan berada di rumah dan kapan pula ia bisa berangkat ke rumah sakit.

Mendengar pertanyaan itu, Zavier menolehkan kepalanya, menatap Winter sembari berkata, "Iya, Winter. Ada apa, enggak suka, ya, semisal Papa free dan temenin weekend kamu?"

Winter langsung menggeleng cepat. "Bukan gitu, Pa." Cuma waktunya aja yang kurang tepat, Papa kenapa free-nya pas Winter mau jenguk tante Aleta, sih? Rasanya ingin sekali gadis itu mengatakan apa yang hatinya ucapkan. Jika saja bukan bantahan dan penolakan yang akan ia terima nantinya.

"Kalau kamu mau jalan-jalan, nanti tunggu kak Sam pulang aja, ya. Kasihan kakakmu itu, banyak sekali tugas kuliah yang mesti ia selesaikan," ucap Zavier yang kemudian diangguki oleh Winter dengan pelan. Ketidakberadaan Summer di sana juga menjadi salah satu penyebab Winter tak dapat pergi ke rumah sakit.

Setelahnya heninglah yang menyelimuti keduanya. Perhatian Zavier kembali teralihkan oleh televisi. Sementara Winter menyandarkan punggungnya ke sofa. Mungkin, akhir pekan kali ini memang sudah ditakdirkan untuknya tidak mengunjungi Aleta. Jika memang begitu lebih baik Winter tidur saja. Gadis berambut keriting panjang itu sudah hendak memejamkan kedua netra cokelat terangnya ketika suara ketukan pintu memasuki indra pendengarannya.

Zavier berdiri beranjak menuju pintu utama meninggalkan Winter yang masih tetap pada posisinya. Sampai derap kaki dan suara ayahnya kembali menyapa gendang telinganya.

"Itu orangnya, Thaf. Dari tadi grasah-grusuh enggak bisa diam. Enggak tahunya, nunggu kamu, ya?"

Winter membuka matanya yang seketika membelalak saat mendapati Althaf berdiri di sebelah Zavier. Dan, apa tadi kata papanya? Winter menunggu kehadiran pemuda itu? Sama sekali tidak!

"Saya mau ngajak Winter buat temenin saya latihan basket, Om," izin Althaf dengan sopan sebelum Winter hendak membuka suara membantah ucapan Zavier sebelumnya.

Althaf yang mengenakan jersei basket dengan jaket hitam itu tidak merespons apa-apa, meski manik hitam kelamnya menangkap bahwa gadis bertubuh pendek yang duduk di sofa itu menatapnya penuh tanda tanya.

"Om izinkan," kata Zavier kemudian beralih menatap Winter. "Kok, masih diam, Winter? Cepat ganti baju sana. Kasihan nanti Althaf menunggu lama."

Winter menurut saja. "Iya, Pa, iya."

Winter in LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang