18. Puisi dan Masa Lalu

84 30 9
                                    

—Selamat Membaca—

Jarak dan waktu bisa saja tertinggal jauh. Namun, takdir lebih dari mampu untuk kembali mempersuakan dua sosok yang pernah terserak di masa lalu.

***

SMA Buana Bestari,
Tempat di manaku mengenyam pendidikan.
Dengan riang, gembira, dan berseri-seri.
Tempat di manaku bertemu banyak teman.
Ada yang baik hati juga maunya menang sendiri.

SMA Buana Bestari,
Tempatku menuntut ilmu,
Pula mendapatkan uang saku,
Wahai sekolahku, daku padamu.

Tawa Winter sontak meledak usai membaca puisi yang Althaf buat. Althaf yang menjadi objek tertawaan, mendengkus jengkel ke arah Winter.

Pagi hari ini, tepat seperti kesepakatan mereka di hari sebelumnya. Althaf menemani Winter ke rumah sakit. Akan tetapi, karena adanya tugas membuat puisi bertemakan "SMA Buana Bestari" dari guru Sastra Indonesia mereka di pertemuan terakhir. Membuat keduanya mesti mengerjakan tugas di taman rumah sakit. Aleta bilang, jika keduanya ribut di ruang rawat inapnya, takutnya akan mengganggu ketenangan pasien lain. Dan lebih memungkinkan lagi, Althaf serta Winter akan ditendang oleh pihak keamanan rumah sakit.

"Enggak usah ketawa lo, Win. Sumbang, enggak enak didengar," sebal Althaf menatap Winter yang justru memberikan buku Kiat-Kiat Membuat Puisi yang Bagus dan Benar.

Winter masih dengan sisa tawanya, hingga akhirnya berkata, "Nanti kalau kamu dimarahin sama bu Prosa, aku izin ketawa paling keras, ya."

"Di mana letak kesalahannya, sih? Gue pakai rima yang benar, tuh, tiap baitnya," gerutu Althaf lagi-lagi mendengkus.

"Puisi itu harus pakai majas, Althaf."

Althaf menggelengkan kepalanya. "Kalau gitu, biarin gue orang pertama yang bikin puisi tanpa majas," balas pemuda itu.

"Huu, dasar Altapir sesat!" ucap Winter mencibir.

Althaf berdecak, "Mana sini punya lo? Gue mau lihat, sebagus apa, sih, puisi buatan Win-Win yang dengan gampilnya merendahkan karya gue."

Winter langsung menarik buku tulisnya ketika Althaf hendak menjangkau benda tersebut. "Belum selesai, tunggu bentar lagi."

"Lamban."

Mendengar ejekan Althaf, Winter hanya mengedikkan kedua bahunya tak peduli. Gadis berambut keriting panjang yang dikucir dua itu memilih menfokuskan seluruh atensinya ke buku tulis. Tinggal sedikit lagi dan puisi buatannya sudah akan selesai. Winter yakin seratus persen, puisinya akan jauh lebih bagus dari yang Althaf buat. Meskipun Winter membenci angka dan Matematika, kemampuan gadis itu di bidang Bahasa cukup patut diacungi jempol. Itu sebabnya, ia memilih jurusan Bahasa dibandingkan IPA ataupun IPS, setidaknya ada sebagian minatnya yang tertambat di sana.

Gadis bernetra cokelat terang itu mengulas senyuman tatkala goresan penanya menuliskan kata terakhir pada puisinya.

"Bagus."

Dahi Winter mengerut, mendapati pujian yang entah berasal dari mana. Gadis itu menatap Althaf yang duduk di seberangnya, terbatas satu meja taman di antara mereka. Rasanya, mustahil jika pemuda itu yang menuturkan pujian. Terlebih Althaf seolah mengangguk lantas tersenyum, tetapi kepada siapa?

Winter in LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang