"Yeonjun?" Namjoon terheran ketika mendapati Yeonjun tengah berdiri di depan rumahnya. Mata bengkak dan hidung memerah, ia yakin sekali bahwa pemuda itu habis menangis.
"Kak... Boleh nitip bayi ku gak?" dan dengan satu alis terangkat, Namjoon menatap sosok dalam gendongan Yeonjun. "Aku mau pulang ke rumah kak, tapi gak bisa bawa Junghoon."
"Kenapa gitu?" jujur saja, Namjoon tidak habis pikir dengan jalan pikiran pemuda berponi tersebut.
"Ada alasan yang gak bisa dijelasin, pokoknya aku gak bisa bawa dia ikut. Titip ya kak, pliss.." tatapannya memohon "besok aku ambil lagi, paling lambat siang."
Menghelah nafas pasrah, Namjoon meraih sosok yang berada di dalam gedongan Yeonjun tersebut.
"Makasih kak"
Dan dibalas dengan anggukan.
Yeonjun meninggalkan rumah Namjoon setelah menyempatkan diri mengecup kening Junghoon, juga membungkuk sopan seraya mengucapkan terimakasih berkali-kali.
***
Membuka pintu tanpa mengetuk maupun menyapa dengan sepata kata, Yeonjun menatap datar siapapun yang ada di dalam rumah.
"Loh, Begal pulang?" suara Sowon dari dapur menyambutnya namun tak ditanggapi.
"Abang Begal pulang!!!" diikuti sambutan dari ketiga kurcaci yang berlari dari lantai dua.
Yeonjun masih tetap pada pendiriannya, tidak ingin memberi senyuman pada siapa pun.
Menatap mata elang milik pemuda itu membuat Seokjin paham bahwa sang anak butuh waktu sendiri, anaknya dalam kondisi tidak baik.
"Biarin abang istirahat dulu, jangan diganggu ya" dan meski setengah hati, ketiga kurcaci menyanggupi instruksi sang papa. Ketiganya mundur memberi jalan pada Yeonjun yang hendak naik ke lantai dua.
Angin sepoi-sepoi menyapu kulit mulus miliknya, tatapan mata terpaku pada rumah seberang yang tampak sepi. Jimin apa kabar? Sejenak terlintas pertanyaan itu, teman lamanya yang sebatas semu menurut orang-orang.
Dulu saat keluarga Seokjin baru mengadopsinya bersama adik-adik, Yeonjun sangat pendiam, canggung dengan keluarga ini, bahkan hanya berbicara seperluhnya. Lalu tak sengaja bertemu penghuni rumah seberang jalan yang lima tahun lebih tua darinya. Namanya Jimin, sosok yang selalu menemani dan mendengarkan keluh kesah Yeonjun tanpa terlewat satu pun. Sosok yang terlampau baik hingga Yeonjun kagum setengah mati. Sosok yang selalu tahu kapan Yeonjun butuh teman bahkan sebelum ia memberi tahu.
Dengan Jimin juga ia menumpahkan segala lelahnya menjadi seorang kakak, lelahnya menjadi sandaran, lelahnya memaklumi kenakalan adik-adiknya, lelahnya memaklumi Soobin yang tidak tahu malu meminta banyak uang jajan pada keluarga baru mereka. Saat itu Yeonjun masih suka menangis, lalu Jimin dengan sabar akan memeluk sambil memberi kalimat semangat.
Hingga ketika Yeonjun sudah mulai beradaptasi dengan lingkungannya, sudah terbiasa dengan keluarga barunya, tiba-tiba saja semuanya berubah menjadi menyedihkan tatkalah rumah di depan direnovasi. Yeonjun bertanya pada Sowon kemana Jimin pergi, bertanya dimana kelaki itu bernaung menunggu rumahnya selesai dibangun? Jawabannya sangat aneh "tidak ada siapa-siapa di depan nak. Rumah itu sudah kosong beberapa tahun lalu." kalau begitu siapa Jimin? Pertanyaan demi pertanyaan mengenai teman barunya, sahabat barunya membuat Yeonjun seakan mau gila.
Benar saja, sejak renovasi itu Jimin tidak lagi kelihatan, Jimin tidak ada lagi setiap ia menangis, Jimin bahkan tidak datang memeluknya saat ia kehilangan Soobin. Diam-diam Yeonjun selalu merindukan Jimin, mengenang semua yang telah terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ma Little Bro
FanfictionYeonjun tidak tahu harus berbuat apa ketika seorang balita tiba-tiba berdiri di depan pintu apartemennya. menangis tersedu dan meminta dogendong saat Yeonjun membuka pintu. saat itu juga dirinya memilih mengurus balita tersebut dalam diam, tanpa sep...