Three Roses as a Gift

561 26 2
                                    

"Kalo diingat-ingat lagi, kamu ga bakalan percaya dulu aku gimana. I used to be depressed, broken home, suicide kind of girl. Bener-bener ga punya temen waktu itu. Beda banget kan sama sekarang?" Johanna bercerita mengebu-ngebu ke Leta. Leta bisa melihat dengan jelas dari kasut di mata Johanna dan tawa besarnya bahwa Johanna sudah sedikit mabuk. Lagipula kalau tidak mabuk, tidak mungkin gadis itu mau menceritakan masa lalu kelam-nya itu.

Caro dan teman-teman Glevon yang lain lalu tertawa mendengar perkataan Johanna. "Dan sekarang kamu gila banget tiap minggu nge-club! Sahabat gue ni!" Caro menimpali.

"Eh enak aja! Gini-gini aku belum pernah di bungkusin, ya! Ga kayak kamu, kerjaannya bungkusin cewe aja!" Johanna melawan, lalu tertawa lagi sambil meminum gelas ke-sekian kalinya.

Leta mulai merasa risih. Disini terlalu bising. Dia tidak mengerti perkataan mereka dan dia tidak berharap mengerti. Leta mulai menyesali mengiyakan ajakan Glevon tadi sore untuk datang ke sebuah club terkenal di pulau itu. Dia berpikir boleh lah, sekali-sekali mumpung ada yang menemani. Apalagi Glevon mengatakan kalau Leta pasti boleh masuk tampa mengecek ID karena bersamanya.

Johanna, Caro, dan teman-teman Glevon lainnya sesunguhnya sangat baik dan asyik. Itu sebelum mereka agak mabuk.

"Guys, aku nyari si Glevon aja, ya? Dia ga kembali-kembali dari tadi." Leta berusaha menyingkir dari omongan dewasa yang sedari tadi mereka omongkan.

"Udah ah! Biarin aja! Paling juga lagi dance sama cewe tuh anak! Baru putus cinta, kan! Eh, iya bener kan?" Caro menyaut langsung yang disusul oleh tawanya.

"Mau aku temenin nyari Glevon, And?" Ellen bertanya sedikit keras karena suara musiknya mengeras. Dia salah satu dari sedikit orang yang masih sadar disana.

Setelah menolak ajakkan Ellen, Leta segera berdiri dari sofa lalu masuk ke lantai. Suara musik yang seolah mengeras tambah membisingkan telinganya. Selain flash-flash lampu LED, mata-nya juga terganggu oleh banyaknya pasangan yang terang-terangan make out baik di ujung ruangan maupun di lantai dansa; tangan dimana-mana. Badannya berdesak-desakan dengan banyak orang, dia sampai takut bikininya terlepas. Dia bingung, dia belum pernah melihat manusia sebanyak ini sebelumnya di pulau. Dia berpikir pulau ini sepi, ternyata dia salah besar.

Sepertinya sudah cukup banyak waktu berlalu tapi dia masih belum bisa menemukan Glevon. Dia mulai resah. Dia ingin pulang. Dia tidak cocok disini.

"Hei, hei, wanna dance?" Seorang pria menarik tangannya dan mengajaknya berdansa. Suasana yang sangat padat membuat tubuh mereka menempel rapat. Tampa mempedulikan jawaban Leta, pria itu segera menggerakan tubuhnya mengikuti irama musik. Leta menjadi tambah risih.

"I'm busy." Leta berusaha menyingkirkan tubuh pria itu.

"Hei. Sombong amat." Pria itu segera mengunci tubuh Leta dengan tangannya lalu membenamkan kepalanya di pundak Leta.

Leta mulai risih, capek, dan marah. Dia segera mendorong pria itu yang meskipun sudah sekuat mungkin tidak bisa jauh karena desakan orang-orang. Untung saja pria itu sadar kalau kehadirannya tidak diinginkan. Leta memandang pria yang sedang kaget itu garang lalu segera pergi dari lantai ke sofa tempat teman-teman Glevon.

Dia mulai mengambil beberapa langka tapi entah dari mana tiba-tiba seseorang muncul dan mereka bertabrakan. Sialnya, pria itu membawa sebuah gelas martini yang dengan suksesnya tumpah ke badan Leta. "Sorry." Pria itu bilang, dengan sikap tidak peduli, lalu pergi menjauh.

Hawa nya tidak enak. Moodnya ngak sedang baik. Badannya pliket. Dia bisa merasakan darah memenuhi kepalanya. Ini pertamakalinya dia merasa stress di pulau ini.

Oooh dia pasti akan pulang. Dengan atau tampa Glevon.

Leta mengela lega saat melihat Glevon sudah kembali di sofa mereka, meskipun Glevon terlihat sangat, sangat mabuk. Leta memacu langkahnya. Dia sudah berada lumayan dekat saat langkahnya berhenti ketika mendengar Caro bertanya ke Glevon, "Glev, kamu udah ngerasain si Andriana, belum? Gimana rasanya, bro?" Seru Caro masih dengan senyuman di wajahnya.

In My Escape, I FellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang