{Miller Series #2}
Menyandang nama besar Miller nyatanya tidak semudah yang Raka bayangkan. Biasa hidup dengan kesederhanaan malah sering kali membuatnya jengah dengan kehidupan mewahnya. Dia cukup bersyukur dengan segala apa yang bisa ia dapatkan d...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bandara dengan kesibukannya adalah hal lumrah dalam kehidupan masyarakat. Banyaknya orang berada disana dengan masing-masing tujuan yang berbeda. Di antara banyaknya orang berlalu lalang, ada seorang gadis yang tengah berlari dengan tas ransel mini dipunggung dan koper besar di tangannya. Tidak peduli jika tindakannya akan menjadi pusat perhatian. Yang penting tujuannya segera tercapai. Tatapan matanya terlalu fokus pada satu titik. Dimana orang yang sangat ia rindukan sedang berjalan menghampirinya dengan senyum mengembang.
Brugh
Dia mendapat imbasnya. Menabrak seseorang tak bersalah karena ketidak hati-hatiannya. Mengumpatpun percuma, karena disini dirinya yang bersalah. Sebagai hukuman instant, bokongnya harus mendarat di lantai dengan cukup keras. Jangankan untuk meminta maaf, memikirkan rasa sakit di pantatnya saja membuatnya kewalahan untuk berdiri sendiri.
"Anda baik-baik saja nona?" Suara bariton menyapa pendengarannya.
Saat hendak menjawab, interupsi lain tiba-tiba menimpali. Membuatnya tidak jadi mendongak untuk melihat siapa yang sudah di tabraknya. Malah menoleh kesamping dimana seorang wanita sudah berdiri di dekatnya.
"Ya ampun Liana. Apa kamu baik-baik saja?" Wanita paruh baya dengan hijab panjang khas ala ibu-ibu membantunya berdiri.
"Pelan-pelan Bu. Sakit ini," Gerutunya. Bukannya berterimakasih sudah di tolong.
"Ibu lihat kamu yang salah, ayo minta maaf," Ucap wanita paruh baya tadi.
"Iya. Iya." Liana menoleh kanan kiri, mencari orang yang di tabraknya tadi. "Mana orangnya Bu?"
Perempuan paruh baya itupun ikut menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari keberadaan pria yang sudah di tabrak putrinya barusan.
"Lha sudah enggak ada! Cepet banget hilangnya."
"Weslah Bu, Jarno ae. Mungkin dia sudah memaafkan Liana," Dengan masa bodohnya ia menarik tangan sang Ibu dan sebelah tangan lainya menggeret kasar kopernya.
"Beruntung kamu, orang yang kamu tabrak enggak marah."
"Anggap saja itu orang berhati malaikat."
"Bisa jadi." Liana menoleh cepat ke arah Ibunya, yang tatapannya tengah menerawang penuh binar.
"Maksud ibu?"
"Pria yang kamu tabrak itu tadi, ganteng banget lho. Masih muda pula. Dari penampilannya jelas kalau dia pria kaya. Syukur-syukur, seandainya dia mau jadi mantu Ibu, tapi apa daya, pasti lihat kelakuan kamu pria itu sudah ilfeel duluan. Kamu terlalu bar-bar," Decih Lisa. Wanita yang melahirkan Liana.
Liana mendengkus. Ibunya ini terlalu sering berinteraksi dengan anak-anak muda yang kos di rumah. Bahasa dan cara bicaranya sok-sok meniru anak zaman now. Bahkan bisa dikatakan alay. Terus apa tadi? Dirinya di remehkan!