10. Healing

44 3 0
                                    

HAPPY READING

***


"Wuuuhhh..." 

Teriakan Liana mengganggu konsentrasi pengendara lain, walau begitu ia tidak peduli. Setelah sekian lama, baru kali ini ia merasakan kembali rasanya naik sepeda motor. Dengan di bonceng seperti ini, ia bisa bebas menikmati perjalanannya seraya membentangkan kedua tangan. Membiarkan angin mengibaskan rambutnya yang bergelombang, seakan tak peduli jika nanti akan kusut. Meskipun malam itu ia sempat di bonceng, tapi siapa yang bisa menikmati ketika malam begitu larut dengan di iringi gerimis. Yang ada malah menggigil dirinya.

Mahen membawanya ke dataran yang lebih tinggi. Dimana di sisi jalan ada tebing jurang yang begitu curam, disertai dengan hamparan laut luas menjadi pemandangan yang sangat indah. Sebenarnya sejak ia pulang kembali ke Indonesia Baru kali ini ia bisa jalan-jalan menikmati keindahan alam. Waktunya ia habiskan untuk tidur. Mengingat ia tidak pernah bisa tidur bebas dengan sepuasnya, karena kesibukkan pekerjaan yang tiada henti.

"Apa ini menyenangkan?" Mahen merendahkan kecepatan, hingga tidak lebih dari 40 km/jam. Jadi suaranya masih bisa didengar oleh Liana.

"Ya! Sangat menyenangkan. Aku belum sempat jalan-jalan semenjak pulang ke sini."

"Begitukah?"

"Ya."

"Kalau begitu, aku yang akan membawamu refreshing." Dan di ikuti derai tawa mereka berdua.

Liana sering kali mendengar salah satu teempat yang cukup terkenal di pulau Bali. Walau dirinya tinggal di sini sejak kecil, tapi jujur Liana sama sekali belum pernah mengunjungi tempat itu. Masa mudanya ia habiskan untuk menuntut ilmu. Ketika mendapat ijazah dengan nilai yang sangat memuaskan, ia langsung menerima tawaran pekerjaan di luar negeri. Tujuannya kala itu, harus bisa membahagiakan orang tua tunggalnya sekaligus membuatnya bangga. Tidak mau terus di cemooh, karena hidupnya bisa nyaman karena mendompleng kekayaan orang lain. 

"Ternyata benar," Ucap Liana setelah Mahen berdiri di sisinya, karena sebelumnya Mahen harus memarkirkan kendaraan lebih dahulu.

"Apanya?" tanya Mahen bingung.

"Bentuknya seperti kepala T-Rex."

Mahen mengerutkan kening, seraya menatap aneh pada Liana.

"Dari dulu memang seperti itu."

"Iya memang, tapi hari ini aku baru melihatnya secara langsung."

"Apa? Kamu sejak kecil tinggal disini bukan?"

"Ya itu benar. Tapi aku tidak terpikir untuk mengunjungi obyek wisata. Hari-hari ku selalu berkutat dengan buku pelajaran. Karena ingin mendapatkan nilai yang memuaskan untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang bisa menghasilkan gaji besar," terang Liana.

"Terdengar kasihan sekali," Mahen menunjukkan wajah memelas yang di buat-buat.

"Sialan!" dan mereka tertawa bersama.

"Air laut sedang surut. Mau turun kesana?" ajak Mahen dan mata Liana seketika langsung berbinar.

"Memang bisa?"

Tanpa banyak bicara lagi, Mahen langsung menggandeng tangan Liana untuk mengikuti langkahnya. Menuruni tebing setapak demi setapak, dengan sesekali Liana akan mengabadikan momen dalam ponsel miliknya. 

Matahari merangkak naik, hingga panasnya terasa menyengat di kulit. Namun tidak menyurutkan langkah mereka berdua. Menyusuri pantai berpasir putih seraya bersenda gurau.

Dari kejauhan, mereka terlihat seperti sepasang kekasih yang tengah kasmaran. Walau kenyataannya, mereka hanya dua manusia yang baru saja kenal dan langsung akrab karena alam bawah sadar mereka sama-sama pernah di kecewakan oleh sang mantan.

Kecantikan Hati (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang