Tetaplah berada di jalan yang lurus, meskipun banyak halangan dan godaan. Karena sesungguhnya Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang bersabar.
* * *
BERMUKA DUA
Berbaris di halaman kelas selama sepuluh menit menjadi hal paling baru dalam kebiasaan siswa dan siswi baru di Madrasah Aliyah. Mereka mendengarkan pesan-pesan dari Kepala Sekolah dan juga Guru BK tentang kedisiplinan selama belajar di sana. Barisan kelas unggulan terpisah dari barisan kelas regular, sehingga mereka terlihat sangat mencolok di hadapan banyak orang.
Harun memberi tanda pada Aris dari kejauhan untuk bertemu di perpustakaan saat jam istirahat nanti. Aris pun tersenyum dan mengacungkan ibu jarinya pertanda setuju dengan ajakan itu. Beberapa orang siswa dari kelas unggulan yang satu kelas dengannya pun mencibir dan mengejek secara terang-terangan, bahkan di depan senior mereka.
“Kenapa Aris tidak dimasukan ke kelas regular saja sih, toh dia hanya berteman dengan anak-anak dari kelas regular bukan dengan kita yang berada di kelas unggulan,” sindir Adam.
Senior mereka pun menoleh karena terkejut mendengar sindiran itu, mereka tak menduga kalau kelas sepuluh unggulan berani berkata seperti itu di depan banyak orang. Aris hanya diam saja, ia tak membalas ataupun melawan. Hal-hal seperti itulah yang membuat dia selalu berada di belakang yang lain, entah itu duduk di kelas ataupun berbaris di halaman sekolah.
“Iya…, hanya karena dia pintar saja makanya dia masuk ke kelas unggulan,” tambah Gani.
“Pintar??? Pintar cari muka maksudmu???,” ejek Yahya.
Mereka pun tertawa pelan agar tak terdengar oleh para Guru yang ada di bagian depan. Guru BK telah menyelesaikan amanatnya untuk para siswa, barisan pun mulai di bubarkan satu persatu. Aditya maju ke depan barisan kelas unggulan.
“Untuk kelas unggulan, istirahat di tempat, gerak!,” perintahnya.
Mereka pun melakukan posisi istirahat di tempat seperti yang Aditya perintahkan. Pria itu tak menunjukkan senyuman seperti biasanya, wajahnya menunjukkan kemarahan yang sulit untuk dijelaskan.
“Apa kalian semua tahu kenapa saya tidak meminta kalian masuk kelas seperti kelas regular?,” tanya Aditya.
“Tidak…,” jawab semuanya.
“Agar kalian bisa menikmati cahaya matahari,” ujar Aditya.
Gani mengangkat tangannya, Aditya menatapnya dan memberi ijin untuk berbicara.
“Tapi kami sudah kepanasan Kak,” protesnya.
Aditya tersenyum sinis.
“Panas katamu? Baru terkena cahaya matahari beberapa menit saja sudah kepanasan?,” ejek Aditya.
“Kakak mengejek kami?,” tanya Adam, merasa aneh.
“Mengejek katamu? Baru saya beri sedikit sindiran saja sudah merasa di ejek? Lalu bagaimana pertanggung jawabanmu atas ejekan dan sindiran terhadap Aris? Sudah siap kamu merasakan api neraka atas semua kata-katamu tadi? Kamu pikir siapa kamu sehingga bisa mengejek orang sembarangan hanya karena dia bergaul dengan anak-anak kelas regular? Kamu pikir siapa kamu sehingga bisa dengan mudahnya merendahkan orang lain berdasarkan di mana orang itu di tempatkan?,” tanya Aditya, murka.
Mereka semua menunduk karena malu.
“Apa kalian pernah bertanya pada Aris tentang kenapa dia bergaul hanya dengan anak-anak dari kelas regular? Apa kalian tahu kalau anak-anak kelas regular menyukai prilakunya yang rendah hati dan tidak berlidah tajam seperti kalian? Apa kalian tahu kalau anak-anak kelas regular merasa sangat menyayangkan sikap kalian semua yang selalu saja menghina, menyindir, dan mengejek Aris?,” Aditya menatap seluruh wajah siswa dan siswi kelas sepuluh unggulan.
Mereka semua terlihat terkejut saat Aditya mengatakan hal itu, satu kemenangan telak untuk Aditya telah terbayang di wajah mereka.
“Ya…, kalian semua kaget kan? Kalian tidak menyangka kalau anak-anak kelas regular akan melaporkan sikap buruk kalian terhadap teman kalian sendiri hanya karena Aris jauh lebih cerdas dan pintar ketimbang diri kalian sendiri? Apa kalian tahu, kalau kami…, Kakak senior kalian, selalu bergabung dengan anak-anak kelas regular dan bertukar pendapat ketika sedang memiliki waktu luang? Dan kejutan lainnya untuk kalian adalah, bahwa laporan sikap buruk ini bukan hanya kami dapatkan dari anak kelas regular yang satu angkatan dengan kalian, tapi juga anak kelas regular yang berada di angkatan kami!.”
Pak Rahmat pun keluar dari kantor Guru lalu berdiri di samping Aditya.
“Untuk kelas sebelas unggulan dan kelas dua belas unggulan silahkan masuk ke kelas masing-masing,” perintah Pak Rahmat.
Semuanya mengikuti perintah itu. Aditya pun meminta ijin pada Pak Rahmat lalu masuk ke kelasnya bersama dengan yang lain. Pak Rahmat menatap wajah seluruh anak kelas sepuluh unggulan dengan ekspresi kecewa.
“Apa kalian pernah mendengar sebuah nasihat yang isinya ‘lidahmu jangan kau biarkan menyebut kekurangan orang lain, sebab kau sendiri punya kekurangan dan orang lain punya lidah’*. Apa kalian pernah mendengar nasihat itu?,” tanya pak Rahmat.
“Tidak pernah Pak,” jawab semuanya, serempak.
“Apakah kalian menyadari apa arti nasihat tersebut?,” tanya Pak Rahmat lagi.
Hening sesaat, hingga akhirnya Aris pun mengangkat tangannya.
“Ya Aris…, silahkan jawab,” ujar Pak Rahmat.
“Artinya adalah, bahwa kita sebagai manusia harus selalu berhati-hati menggunakan lidah dan tidak mengatakan hal-hal buruk tentang orang lain, karena orang lain pun memiliki lidah dan bisa membalas dengan mengatakan hal-hal yang buruk tentang keburukan kita,” jawabnya.
“Seratus poin tambahan untuk Aris pagi ini! Jawabannya sangat tepat!,” tegas Pak Rahmat.
Mereka kembali menundukkan kepala.
“Apakah kalian pernah merasa, bahwa lidah Aris yang tak pernah membalas keburukan lidah kalian padanya selama ini telah di balas oleh Allah melalui lidah orang-orang shaleh dan shalehah? Ya…, Aris tak perlu membalas kalian, dia hanya perlu diam dan menyerahkannya kepada Allah, maka Allah sendiri lah yang membalasnya kepada kalian melalui orang-orang yang peduli pada Aris, melalui orang-orang yang menerima Aris dan menghormatinya sebagai Ikhwan yang berilmu. Tidak pernahkan kalian mendengar tentang ketentuan Allah yanga berupa al-jaza min jinsil amal yang artinya adalah balasan akan di dapat sesuai dengan amal perbuatan! Apa kalian tidak pernah mendengar hal itu?.”
Tak ada yang menjawab, Pak Rahmat masih menatap mereka dengan serius.
“Laisa bi’amaaniyyikum wa laaa amaaniyyi ahlil kitaab, may ya’mal suuu’ay yujza bihii wa laa yajid lahuu min duunillaahi waliyyaw wa laa nashiiroo**. Yang artinya, pahala dari Allah itu bukanlah angan-anganmu dan bukan pula angan-angan Ahli Kitab. Barang siapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan di balas sesuai dengan kejahatan itu dan dia tidak akan mendapatkan pelindung dan penolong selain Allah. Apa kalian mengerti?,” tanya Pak Rahmat.
“Mengerti Pak…,” jawab semuanya.
“Lakukan! Minta maaf pada Aris, dan jangan coba-coba lagi berbuat hal yang sama! Silahkan masuk ke kelas kalian!.”
Mereka pun masuk ke dalam kelas mereka sendiri. Aris duduk di kursinya seperti biasa.
“Apa aku bilang, memang dia itu pembawa sial!!! Kita dihukum cuma karena menyindir dia??? Terus kita disuruh untuk minta maaf??? Cih!!! Aku tidak akan sudi!!!,” ujar Adam, keras-keras.
Pak Rahmat tertawa di ambang pintu sehingga Adam pun berbalik dengan rasa terkejut luar biasa.
“Adam Fathihatul Mujid, silahkan keluar dari kelas unggulan! Kamu akan menempati kelas sepuluh D regular mulai hari ini hingga selamanya!,” tegas Pak Rahmat.
‘Karena sebaik-baik keputusan adalah dengan menyingkirkan yang terburuk dari hal-hal yang baik.’
* * *
*Nasihat Imam Syafi'i
**QS. An-Nisa’ : Ayat 123
KAMU SEDANG MEMBACA
Mujahid
SpiritualMeski jauh, aku akan terus mengejarmu Meski sulit, aku akan berusaha menggapaimu Meski sakit, aku akan tetap bertahan untukmu *** Sebuah ideologi yang berbeda menjadi tembok penghalang antara dirinya dan orang lain. Mampukah ia melewati semua aral y...