BAGIAN 14

273 33 1
                                    

Lakukanlah kebaikan sekecil apapun
Karena kau tak pernah tahu
Kebaikan apa yang akan
Membawamu ke surga.

(Imam Hasan Al-Bashri)

* * *

TUJUAN

Keempat Pria itu duduk di ruang tamu, saling berhadapan. Di meja tersaji teh dan berbagai cemilan. Seperti biasa - sejak dulu - Ustadz Ibrahim akan selalu lebih banyak makan daripada yang lain.

"Dimakan Akh..., jangan sungkan-sungkan," ujar Ustadz Dimas.

Ustadz Fikri melirik ke arah Ustadz Ibrahim.

"Akh Dimas, tidak perlu ditawari. Akh Ibrahim sudah sangat tahu diri bahwa semua makanan itu di sajikan untuk dirinya sendiri," sindir Ustadz Fikri.

Ustadz Reza berusaha menahan tawa saat mendengar apa yang Ustadz Fikri katakan.

"Akh Fikri, Allah paling tidak suka pada hamba-Nya yang menyia-nyiakan makanan," sanggah Ustadz Ibrahim.

Ustadz Fikri pun mengambil satu potong pisang goreng dan menyuapkannya ke mulut Ustadz Ibrahim.

"Hmm..., makanlah..., makan..., kamu memang selalu lebih berguna kalau dalam urusan makan ketimbang bicara," balas Ustadz Fikri.

HAHAHAHAHA!!!

Ustadz Reza tak mampu lagi menahan tawanya yang sejak tadi tertahan.

"Sudah..., sudah..., kalian kalau bertemu pasti ada-ada saja kekonyolan yang dibahas," Ustadz Dimas menengahi.

"Ayolah..., saya ikut dengan kalian datang kesini karena mau membicarakan hal yang penting dengan Akh Dimas, kan?," tanya Ustadz Reza, memastikan.

"Nah itu..., kalian mau membicarakan apa dengan saya?," tanya Ustadz Dimas.

Ustadz Ibrahim meminum tehnya.

"Tadi siang saya ke rumah Abah sebelum mengisi kajian sore di Masjid. Sekitar jam tiga, saya lihat mobilmu datang dari arah gerbang dan parkir di depan Masjid. Saya juga lihat kamu membawa Najifah, tapi kamu bukan mau ke rumah Abah ataupun datang karena ada jadwal. Saya lihat kamu memberi bimbingan dan melatih tiga orang santri untuk belajar berdakwah," ujar Ustadz Ibrahim.

Ustadz Dimas tersenyum.

"Benarkah itu Akh Dimas?," tanya Ustadz Reza.

"Iya Akh Reza, itu benar sekali," jawab Ustadz Dimas, jujur.

"Atas dasar apa kamu melatih ketiga santri itu? Kenapa tiba-tiba kamu mau membimbing dan melatih mereka untuk berdakwah?," tanya Ustadz Fikri.

Sekali lagi, Ustadz Dimas tersenyum.

"Kemarin, saya mengisi jadwal kajian sore di sana. Saya melihat mereka bertiga memperhatikan saya dengan sangat serius ketimbang santri-santri lainnya. Dua orang, sudah saya kenali karena mereka sudah lama berada di pesantren. Tapi yang satu, sepertinya adalah santri yang baru masuk, dan dialah yang paling antusias di antara dua orang tadi. Di situ saya berpikir, bahwa inilah saatnya pesantren memiliki pendakwah baru. Mereka adalah bibit, yang bukan hanya sekedar ingin tumbuh tapi juga ingin berkembang," jelas Ustadz Dimas.

Ketiga Ustadz lainnya menganggukan kepala mereka.

"Ya, kamu benar Akh Dimas, masa kejayaan pesantren milik Abah adalah di saat kita semua masih belajar di sana. Namun saat ini, seakan tidak ada perubahan atau perkembangan. Tidak pernah ada bibit-bibit baru yang kita lihat, hanya ada banyak bibit yang dipenuhi rasa takut dan malu di hadapan orang lain sebelum mencoba," ujar Ustadz Reza, jujur.

"Itulah yang saya maksud Akh, mereka bertiga ini adalah bibit pertama yang menunjukan kalau mereka berbeda dari yang lain. Mereka bersedia malu. Bahkan dipermalukan oleh Najifah yang masih berusia enam tahun pun mereka mau terima. Mereka mau mencoba, dan saya sangat menghargai kemauan mereka," balas Ustadz Dimas.

"Kalau memang begitu, kami juga akan turut andil dalam membimbing mereka. Kami ingin lihat, sejauh mana mereka akan meniti jalan yang sudah Allah perintahkan bagi orang-orang beriman. Kami ingin lihat seberapa antusiasnya mereka dalam berdakwah," ujar Ustadz Fikri.

"Saya setuju. Apalagi setelah tadi saya melihat sendiri bagaimana semangatnya mereka meskipun masih banyak melakukan kesalahan," tambah Ustadz Ibrahim.

* * *

"Nah, itulah alasannya kenapa kita harus memegang teguh Al-Qur'an dan Hadits sebagai pegangan hidup di masa depan," jelas Pak Rahmat.

Tok..., tok..., tok...!!!

"Assalamu'alaikum," ujar Ustadz Fikri.

"Wa'alaikum salam Ustadz Fikri, apa kabar? Kenapa baru sekarang mampir ke Madrasah?," tanya Pak Rahmat sambil memeluk Ustadz Fikri dengan erat.

"Afwan Pak Rahmat, saya benar-benar sulit keluar jika bukan pada hari di mana saya ada jadwal untuk mengisi kajian di pesantren," jawab Ustadz Fikri.

"Ya, saya maklum. Semua hal memang sudah banyak yang berubah dengan seiring berjalannya waktu," ujar Pak Rahmat.

Mereka tertawa bersama.

"Jadi, ada hal penting apa sehingga Ustadz datang ke sini?," tanya Pak Rahmat.

"Begini Pak Rahmat, tadi Ustadz Dimas memberitahu saya bahwa dia berhalangan hadir padahal sudah berjanji pada tiga orang santri yang sedang dibimbingnya secara khusus dalam bidang berdakwah. Jadi, hari ini saya diminta untuk menggantikannya," jawab Ustadz Fikri.

"Wah, begitu rupanya. Jadi siapa tiga orang santri yang akan Ustadz bimbing hari ini?," Pak Rahmat cukup terkejut.

Ustadz Fikri mengeluarkan secarik kertas berisikan nama-nama yang sudah ditulis oleh Ustadz Dimas semalam.

"Ahmad Harun, Aris Abdullah Syakir, dan Saiful Anwar. Katanya mereka ada di kelas unggulan," ujar Ustadz Fikri seraya tersenyum.

Semua menatap ke arah ketiga orang yang disebutkan tadi. Mereka tersenyum bangga karena ada anggota kelas mereka yang ikut dalam bimbingan dakwah.

"Masya Allah, ternyata mereka bertiga orangnya. Akan segera saya panggilkan agar mereka menemui Ustadz Fikri di Masjid," ujar Pak Rahmat.

"Baik Pak Rahmat, syukron atas bantuannya. Saya permisi dulu, Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam."

Pak Rahmat segera menatap ke arah Harun, Aris dan Saiful.

"Masya Allah, luar biasa sekali. Diam-diam kalian mengambil langkah besar untuk berjalan ke masa depan," puji Pak Rahmat.

Mereka bertiga segera menundukan kepala bersamaan, mereka merasa malu karena dipuji secara tiba-tiba. Fajar menepuk-nepuk punggung Saiful dan berekspresi seakan terharu.

"Aku bangga padamu Akh Saiful," ujar Fajar, sambil berpura-pura menyeka airmatanya.

"Karena aku ikut bimbingan dakwah?," tanya Saiful.

"Karena kamu jago makan, dan selalu menghabiskan makananku," jawab Fajar.

Saiful pun menggebuk bahu pemuda yang berstatus sahabat di sampingnya itu dengan gemas. Semua orang tertawa setelah mendengar jawaban Fajar. Pak Rahmat hanya geleng-geleng kepala seraya tersenyum.

"Ada-ada saja."

* * *

MujahidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang