BAGIAN 19

269 36 0
                                    

Jika sebuah telur dipecahkan oleh kekuatan dari luar, maka kehidupan di dalam telur akan berakhir. Akan tetapi, jika sebuah telur dipecahkan oleh kekuatan dari dalam, maka kekuatan baru telah lahir. Demikian juga dengan kita. Hal-hal besar selalu dimulai dari dalam diri kita sendiri.

(NN)

* * *

MENGIKIS YANG LAMA

Harun membawa empat mangkuk bakso dalam satu baki, sementara Aris membantunya dengan membawa empat gelas teh manis hangat. Saiful dan Fajar menyambut mereka berdua sekaligus membantu menyajikan makanan serta minuman ke atas meja.

"Wah, aku sudah tidak sabar...," ujar Saiful yang langsung hendak melahap baksonya.

"Eh...," Aris, Harun dan Fajar menghentikannya dengan cepat.

"Kenapa?," tanya Saiful.

"Berdo'a dulu jangan langsung main makan-makan saja," jawab Fajar.

"Aku sudah berdo'a sejak baksonya masih dipesan," sanggah Saiful.

Aris dan Harun tertawa seketika saat mendengar sanggahan Saiful. Fajar mengusap-usap dadanya dan beristighfar agar bisa lebih bersabar menghadapi Saiful.

Harun meminum teh hangatnya sebelum menyentuh mangkuk bakso. Fajar menatap ke arah seseorang, yang kini tak mendapat tempat duduk. Semua orang menjauhinya dan tak ingin duduk dengannya.

"Akh Adam!," panggil Fajar.

Adam menoleh dan menatap ke arah meja yang mereka tempati. Harun, Saiful dan Aris melambaikan tangan mereka saat melihatnya juga seperti Fajar. Adam mendekat dan duduk di meja yang sama dengan mereka.

"Kenapa berdiam diri di sana dan tidak bergabung dengan Yahya atau Gani?," tanya Harun.

Adam menatap sepiring nasi goreng di hadapannya.

"Mereka menjauhi saya. Tidak terima kalau saya berhenti..., bertindak bodoh," jawab Adam, jujur.

Fajar, Saiful, Harun dan Aris saling pandang satu sama lain. Saiful pun merangkul Adam.

"Sudah, tidak usah dipikirkan. Makan nasi gorengmu sebelum dingin," ujar Saiful.

Mereka mulai menyantap makanan masing-masing. Aditya menatap mereka berlima dan menduga-duga apa yang sedang terjadi. Apakah Adam sedang berpura-pura?

"Wah..., ikutan sok suci kau Dam???," teriak Yahya, dari meja paling ujung.

HAHAHAHAHA!!!

Semua menertawai Adam yang terlihat duduk di satu meja bersama Aris. Adam diam saja dan tetap memakan nasi gorengnya. Telinga Fajar terasa panas mendengar tawa mengejek dari orang-orang tak tahu diri itu. Ia bangkit dari kursinya dan menatap mereka sambil tersenyum.

"Hati-hati kalau bicara. Yang diselamatkan oleh Akh Aris dengan permohonannya hanya Akh Adam, bukan kalian! Jangan terlalu percaya diri, akan jadi aib seumur hidup bagi kalian kalau tiba-tiba kalian kembali berada dikubangan yang sama dengan kemarin," ujar Fajar, santai.

Pemuda itu duduk kembali, gema suara tawa pun mendadak menghilang tiba-tiba. Adam menatapnya dengan kedua mata yang membulat karena keheranan.

"Sudah gila kamu? Nanti kamu akan jadi bahan bullying mereka yang baru! Jangan ikut campur," bisik Adam.

"Lalu? Apakah saya harus diam saja ketika ada yang diperlakukan tidak adil? Di mana hati nurani saya jika saya menutup mata saat ada yang ditindas?," tanya Fajar.

Harun menepuk bahu Adam dengan tegas.

"Sudah, tidak perlu khawatir. Tenang saja," sarannya.

Adam menganggukan kepalanya. Aris menyodorkan teh hangatnya pada pemuda itu, karena tak ada satu gelas minuman pun yang dia bawa.

"Syukron," ujar Adam.

"Afwan," balas Aris.

* * *

Yahya dan Gani menghadang langkah Adam yang hendak keluar dari kelas setelah pulang sekolah. Mereka menatapnya dengan sinis.

"Kemana Adam yang dulu begitu membenci Aris? Kenapa tiba-tiba jadi berubah seratus persen begini?," tanya Gani.

Adam tidak menjawab, ia hanya berdiam diri saja di tempatnya berdiri.

"Apa kamu merasa tersanjung karena Aris menyelamatkanmu hanya karena perkara formulir?," tanya Yahya.

Adam tetap diam saja.

"Ayolah Dam..., si Aris itu akan semakin besar kepala kalau kamu mengalah sama dia. Kamu harus memberi dia pelajaran!," desak Gani.

"Begini Dam, kita punya rencana yang bagus untuk menjatuhkan Aris di depan banyak orang. Kita jamin, tidak akan ada yang membelanya lagi kalau dia terjebak," ujar Yahya.

"Betul itu, kita akan gunakan salah satu Akhwat yang ada di kelasnya. Kita buat seakan mereka berdua bertemu diam-diam, dan kita biarkan semua orang menuduh pada si Aris kalau dia hendak berzina dengan Akhwat tersebut," saran Gani, seraya tersenyum licik.

Adam menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. Saran itu sangat menarik di telinganya. Gani dan Yahya pun meninggalkannya setelah mengatakan apa rencana mereka pada Adam.

Adam berjalan keluar dari kelas itu dan berbelok menuju lorong samping sekolah untuk bisa naik ke lantai dua melalui jalan belakang. Ia segera masuk ke kelas Sepuluh Unggulan, meskipun masih ada beberapa orang di dalam kelas tersebut yang isinya hanya Ikhwan.

Semua mata menatapnya, ia berjalan mendekat pada Aris dan memakaikan headset di telinga pemuda itu. Ponselnya memutar sesuatu. Aris menatap ke arah Adam.

"Ayo pergi," ajak Adam.

Aris pun segera meraih ranselnya dan mengajak Fajar yang masih duduk di kursi belakangnya. Mereka keluar dari kelas dan memutar melalui jalan belakang yang tadi Adam lalui.

"Kita mau ke mana?," tanya Fajar.

"Ke Ruang Guru," jawab Aris.

Mereka tiba di Ruang Guru lebih cepat setelah melalui jalan memutar. Pak Rahmat menatap mereka bertiga setelah menjawab salam.

"Ada apa lagi? Buat onar lagi dia?," tanya Pak Rahmat, tajam.

Aris menyerahkan ponsel Adam dan memutar rekaman yang ada di sana. Pak Rahmat mendengarkan rekaman tersebut dan mencoba menahan kekesalan yang luar biasa atas apa yang didengarnya.

"Keterlaluan!," geramnya.

Pak Rahmat menatap mereka bertiga setelah menyerahkan kembali ponsel milik Adam.

"Pergilah ke Masjid, biar Bapak yang selesaikan masalah ini," perintah Pak Rahmat.

Mereka bertiga pun segera keluar dari Ruang Guru dan berjalan menuju Masjid.

"Ada-ada saja! Meskipun sudah kuperingatkan tadi siang, masih saja mereka mencoba untuk melakukan hal yang sama," ujar Fajar.

"Begitulah manusia, sesering apapun kita menasehatinya tapi kalau Allah tidak memberikan hidayah padanya, maka hatinya tetap akan membatu," balas Aris.

Mereka tiba di depan Masjid, Harun dan Saiful menatap kedatangan mereka bertiga sekaligus berhenti menyapu lantai Masjid.

"Tumben Akh Fajar belum pulang, sudah izin kah mau pulang terlambat pada Ummi?," tanya Saiful.

"Sudah, tadi pagi saya bilang sebelum berangkat," jawab Fajar yang mulai membuka sepatunya.

"Akh Adam? Tidak pulang? Sudah izin juga?," tanya Harun.

"Tidak ada orang di rumahku kalau siang," jawab Adam.

"Ayo masuk, kita Shalat Tahiyyatul Masjid dulu sebelum masuk waktu Shalat Ashar," ajak Aris.

Mereka semua mengangguk serempak dan mengikuti langkahnya ke dalam.

'Dan Allah selalu memberikan hidayah pada orang-orang yang dikehendaki-Nya.'

* * *

MujahidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang