BAGIAN 10

278 36 2
                                    

Badai itu selalu datang, dan kita hanya bisa menghadapinya sekuat tenaga. Begitu pula dengan cobaan, dia akan selalu datang dan Allah hanya meminta agar kita bersabar menghadapinya.

* * *

GEJOLAK

Aris keluar dari kamarnya pagi-pagi sekali sebelum semua orang di rumahnya bangun. Ia tak ingin bertemu siapapun yang akan terus menghalang-halangi keinginan hidupnya. Ia meraih sepatu dari rak dan bergegas berjalan mengendap-endap ke pintu.

Trakkk!!!

Lampu kristal raksasa di tengah rumahnya yang megah tiba-tiba saja menyala, ia terkejut setengah mati hingga jantungnya berdebar-debar dengan cepat.

"Begini caranya kamu menghindari Papa??? Mengendap-endap seperti maling hanya demi tidak mendengarkan saran Papa untuk masuk ke sekolah khusus akademi bisnis???," tanya Farid, murka.

Aris berbalik dan menatap Farid penuh rasa sayang. Arden - Kakak sulungnya - menertawai Aris diam-diam dari balik punggung Papanya. Aris sudah tahu, kalau Arden yang melapor pada Papanya kalau Aris sering pergi pagi-pagi sekali untuk menghindari keributan.

"Mohon maafkan Aris Pa..., Aris tidak bisa memenuhi apa yang Papa mau. Aris tidak mau jadi anak durhaka tapi hati Aris juga tidak bisa dipaksa Pa. Sekali lagi Aris mohon maaf Pa, Aris tidak bisa sekolah di tempat lain, Aris ingin memenuhi apa yang hati Aris mau," jawab Aris.

"Kalau begitu, keluar kamu dari rumah ini!!! Kamu bukan lagi bagian dari keluarga ini!!!," usir Farid.

Aris menghela nafasnya dengan berat, ia menganggukan kepalanya dan kembali ke kamarnya untuk mengambil pakaian. Arden tersenyum penuh kemenangan, akhirnya ia berhasil menyingkirkan Adiknya yang selalu menjadi kebanggaan Papanya karena anak itu terlalu pintar dalam semua hal. Ia akan menguasai semuanya, dan Aris akan pergi.

Gita menahan Aris agar tak menyeret kopernya. Ia menangis hebat karena salah satu Puteranya baru saja diusir oleh Suaminya sendiri.

"Ris jangan pergi Nak..., Mama bagaimana kalau kamu pergi? Mama mau mengadu sama siapa kalau kamu tidak ada di rumah?," mohon Gita.

"Ma..., Aris nggak berniat meninggalkan Mama. Aris cuma nggak bisa lagi tinggal di sini karena Papa yang meminta. Aris akan menjenguk Mama kalau Papa pergi, Mama nggak perlu khawatir," ujar Aris, yang tak bisa bohong kalau hatinya juga bersedih melihat Mamanya menangis.

"Terus kamu mau tinggal di mana Nak? Kamu mau tinggal sama siapa?," tanya Gita lagi.

"Itu urusan Aris Ma..., Mama jangan khawatir."

Aris benar-benar menyeret kopernya ke lantai bawah, Farid masih menatapnya dengan penuh amarah. Arden tersenyum senang diam-diam.

"Nak..., jangan pergi. Jangan tinggalin Mama," Gita masih saja menarik tangan Aris.

"Gita!!! Biarkan dia pergi!!! Biarkan saja dia jadi gelandangan!!! Jangan kamu tahan-tahan anak itu!!!," teriak Farid.

"Nggak Mas..., Aris nggak boleh pergi!!! Dia anakku!!!," balas Gita.

"Baik kalau begitu, sekarang pilih baik-baik, kamu mau membiarkan dia pergi atau kamu bisa ikut bersama dia dan aku ceraikan???," tantang Farid.

Aris menatap tak percaya ke arah Papanya. Ia segera melepaskan tangan Mamanya dengan lembut.

"Ma..., biarkan Aris pergi ya. Mama nggak boleh melawan Papa, surga Mama ada di dalam ridha-nya Papa. Insya Allah, Aris akan baik-baik saja. Mama nggak perlu khawatir. Aris sayang sama Mama dan nggak mau Mama kehilangan surga hanya karena membela Aris. Biar Aris saja yang berdosa karena tidak mengikuti apa yang Papa mau, tapi Aris tidak mau Mama juga ikut berdosa pada Papa," bujuk Aris.

Airmata Gita semakin membanjir di wajahnya. Arden begitu geram melihat Mamanya yang bertingkah seakan menderita hanya karena Aris akan pergi. Aris mencium punggung tangan Mamanya dan pergi dari rumah itu tanpa menatap Farid lagi meskipun hatinya sangat ingin menatapnya.

'Ya Allah, aku bertahan di jalan-Mu dan menghindari maksiat besar seperti yang Kakakku lakukan selama ini. Aku mohon, bimbinglah aku.'

* * *

Ustadz Arif tersenyum bahagia luar biasa saat menatap sosok yang berdiri di luar pagar rumahnya dengan sebuah koper berwarna hitam.

"Masya Allah..., mimpi apa saya semalam sehingga pagi-pagi begini bisa melihat wajahmu Akh Aris?," tanya Ustadz Arif.

"Anu Ustadz..., saya..., saya...," Aris bingung ingin menjelaskan apa pada Ustadz Arif.

"Sudah..., nanti saja menjelaskannya. Ayo masuk, Akh Aris pasti belum sarapan kan? Kebetulan Ummi-nya anak-anak saya sudah selesai memasak. Ayo...," ajak Ustadz Arif sambil membantu Aris membawa masuk kopernya ke dalam rumah.

Isteri Ustadz Arif menatapnya saat Suaminya memberitahu kalau ada tamu yang datang.

"Assalamu'alaikum Ustadzah...," ujar Aris sambil menundukan kepalanya karena tak berani menatapnya meski sudah memakai niqob.

Ustadz Arif tertawa melihat Aris yang begitu kaku.

"Wa'alaikum salam Nak, kenapa melihat lantai terus? Nanti kamu menabrak tembok Nak," ujar Ummi Niara.

"Siapa yang menabrak tembok Mi?," tanya Fajar yang baru keluar dari kamarnya.

Aris menatapnya tak percaya, begitupula dengan Fajar terhadap Aris.

"Akh Aris???."

"Akh Fajar???."

Ustadz Arif kembali tertawa melihat mereka berdua.

"Gimana? Perlu di perkenalkan lagi?," tanya Ustadz Arif.

Ia merangkul Fajar dengan erat.

"Fajar ini anak saya satu-satunya. Dia pasti nggak pernah cerita pada Akh Aris, dia ini selalu malu-malu memperkenalkan diri sendiri," goda Ustadz Arif.

Aris tersenyum tidak enak pada akhirnya.

"Sudah, sudah! Ayo sarapan, nanti kalian terlambat pergi ke sekolah," ajak Ummi Niara.

Aris duduk di samping Fajar dan berbisik dengan cepat.

"Kok bisa-bisanya kamu nggak cerita apapun padaku Akh?."

"Kalau aku cerita dari awal, kamu pasti nggak mau dekat-dekat denganku karena kamu takut semua orang akan menilaimu mendompleng sama anak Ustadz. Aku tahu betul sifatmu Akh..., makanya aku berhati-hati untuk tidak menyakitimu," jawab Fajar, jujur.

Ummi Niara meletakkan sebakul nasi di meja makan.

"Itulah alasannya Ummi selalu menegaskan kalau kamu harus jujur pada siapa saja. Lihat, temanmu sendiri saja sampai kaget begitu saat tahu apa yang kamu sembunyikan!," tegasnya.

"Afwan Ummi, Insya Allah saya tidak akan mengulanginya lagi," janji Fajar, yang sepenuhnya menyesal.

Ummi Niara menatap Aris.

"Maafkan Fajar ya, dia bermaksud baik ketika tidak bicara jujur padamu. Insya Allah, dia tidak akan mengulanginya lagi," pintanya.

"Iya Ustadzah..., saya sudah memaafkan Akh Fajar," ujar Aris, seraya menundukkan kepalanya karena malu.

Ummi Niara tersenyum.

"Panggil saja Ummi. Sama seperti Fajar, kamu juga anak Ummi."

* * *

MujahidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang