Aku pecundang.
Aku nggak bisa bahas tentang apa yang aku khawatirkan pada Tirta, karna aku nggak siap terima jawabannya. Siapa yang mau diduakan wanita?
Yang ada chat saya!
Manusia itu cepat sekali berubah, sama kayak mama. Padahal baru kemarin kasih perhatian ke aku, sekarang kembali seperti semula. Apa memang manusia itu punya sifat yang selalu berubah ubah?
Hari ini mama berdebat hebat dengan Tirta tepat di depan kamar. Kenapa nggak pilih latar lain? Alasannya biar aku bisa dengar.
Bukan suudzan, tapi mama memang ngebet banget nikahin Tirta dengan Anya. Aku nggak pernah tau alasannya. Padahal kalau dilihat secara kasta saja, aku nggak ada bedanya dengan dia. Cuma saja, kalau dari awal sudah nggak suka ya bakalan keterusan.
"Apa susahnya nikahin Anya? Toh kamu nggak bakal dirugikan." mama terus merongrong Tirta.
Aku tau, Tirta akan menolak. Hal itu nggak masuk dalam rencana kekeluargaan kita. Nggak pernah!
"Nggak adil buat Thalia Ma."
"Salah kamu dong. Mama itu sudah dari awal nggak setuju, tetep aja ngeyel. Sudah untung dipilihkan yang brahmana, pilih yang sudra."
Mama selalu mengungkit masalah, memperbesarkan masalah. Tirta banyak diam, takut salah mengambil langkah.
"Pelan pelan Ma, nanti Thalia bangun."
Mama nggak bisa disalahkan, nggak bisa dibantah. MAHA emang.
Perdebatan itu terus berlanjut sampai aku benar benar terusik. Selalu disindir tentang harga diri, tanpa melihat cerminan diri. Apa yang diharapkan mama soal pernikahan Tirta dan Anya? Nggak cukup tentang aku?
"Nikahin Anya Tirta," mama mulai melembut.
Ada jeda sejenak, baru Tirta menjawab. "Ini keputusan delusional Ma, aku nggak bisa."
Mama keras kepala, tetap ngotot. Jawabannya harus sesuai, kalau nggak sesuai ya kena imbasnya. "Kamu sekolah tinggi tinggi Tirta, mestinya tau surga ada dimana. Jangan ditukar! Surga ada di mama, bukan Thalia."
Senjata ampuh para ibu. Perdebatan selesai.
_____
Aku meneguk air, Tirta masuk ke dalam kamar. Wajahnya terlihat kesal dan lelah, ia paksain senyum buat aku. "Kamu dari kapan bangunnya? Tidur lagi deh ya, masih malam."
Aku tatap Tirta nanar, "Harus banget ya nikah lagi Mas?"
Tirta diam.
"Kenapa?"
Masih nggak ada jawaban.
"Mas!" aku menuntut penjelasan. Apa susahnya menjawab?
Tirta memalingkan muka, "Anya hamil anak aku."
SEJAUH ITU HUBUNGAN MEREKA?
"Kamu dengerin penjelasan aku dulu. Ini nggak sesuai dengan apa yang kamu kira,"
Aku menggeleng dan melepas tangannya. Tahan tangis itu susah, "Kayaknya aku capek Mas, pengen sendiri. Kamu bisa tidur di kamar lain kan?"
"Sayang." Tirta tetap memohon, tapi aku menangis. Dia nggak pernah bisa lihat aku seperti itu. Akhirnya ia mengalah.
"Mas." Sebelum meninggalkan kamar, aku panggil dia. "Jangan di kamar Anya ya?"
Tirta suka aku jujur. Dia tersenyum, kemudian dia mendekat lagi.
Aku menggeleng, menolak tegas. "Kamu tidur aja ya."
Kemudian aku tutup selimut. Aku cengeng. Nangis.
Gelap.
Tirta ingin nikah lagi._____
Kejadian mama merongrong Tirta nggak sekali dua kali. Lebih sering saat ada aku di tempat kejadian, baru mama kasih serangan.
Hubungan aku sama Anya nggak terlalu dekat. Ya mau dekat gimana? Lihat mukanya saja sudah bikin aku muak tau.
"Sayang." Tirta menghampiriku di balkon depan. Semenjak kejadian itu, kita pisah ranjang. Aku nggak mau bicara sama Tirta.
Kenapa?
Aku sudah jadi istrinya, belum cukup apa kegiatan ranjang kita sampai dia bisa menghamili Anya?
Memang ya, hal terberat bagi wanita itu saat menikah. Sebelum menikah, wanita akan terlihat sangat cantik di mata pasangan. Tapi setelah menikah, malah biasa saja. Sesuatu yang aku khawatirkan terjadi, aku nggak lagi menarik bagi Tirta.
"Kita perlu ngomong Sayang. Nggak bisa kita gini terus."
Kalau lihat muka Tirta, aku jadi bayangin dia bersetubuh dengan Anya. Makanya aku cuma senyum sedikit, "Aku pusing Mas."
Tirta mencegah aku pergi, tapi aku menepis. Dia tetap berusaha agar aku bisa ngobrol sama dia. "Kamu dengarkan dulu Sayang, ini nggak seperti apa yang kamu pikirkan!"
AKu menatapnya, "Yaudah ngomong aja. Cuma mau ngomong Anya hamil anak kamu kan? Dan itu nggak disengaja, iya?"
Tirta menggeleng, "Bukan, maksudnya-"
"Apa Mas?" maaf kalau bentakan aku ini dilaknat surga. "Sekurang apa aku sampai kamu ngelakuinnya sama Anya? Aku nggak bisa terima semuanya."
Emosi. Loss. Tahan air mata.
Tirta diam, bingung mau jawab apa?
"Kamu kenapa Mas? Dulu kamu tolak kan perjodohan mama? Sekarang, kenapa-" aku benar benar loss, nggak bisa lanjutin perkataanku.
Tirta memegang tanganku, "Aku minta maaf Sayang. Nggak seharusnya aku melibatkan kamu ke masalah keluarga aku."
Aku melepas pegangannya, "Aku sudah jadi keluarga kamu Mas, dan seharusnya kamu terima. Kalau kamu anggap aku ada dan berati di sisi kamu, harusnya kita bisa hadapi sama sama."
Mata Tirta meredup, seperti menyesali perbuatannya. Ia meraup wajah, "Aku ingin nikahi Anya."
Suatu dentuman keras.
Tak berbunyi, tapi meretakkan.
_____
KAMU SEDANG MEMBACA
Daily Journal
General FictionIts my Ramadhan Writing Challenge, actually. Sepertinya bisa dilanjutkan ke novel. Kehidupan rumah tangga itu jangan dipandang enaknya doang. Nggak tau aja, ada aral yang melintang sampai titik konflik penceraian ada. Jika proses medis nggak bisa me...