Saat yang ditunggu tunggu telah tiba.
Tirta merangkulku penuh bahagia menuju rumah sakit tempat biasa kami kontrol kesuburan bersama Dokter Ali. Rasanya proses ini akan berhasil, walau kita nggak pernah tahu asil akhirnya.
"Bapak Tirta, mari kita ke laboratorium dulu." suara asisten Dokter Ali memberikan pengarahan.
Tirta mengecup keningku, "Tunggu ya."
Aku mengangkat jempol, sekalian memberinya semangat. Mama dan Anya juga nggak lupa menyemangati Tirta, perubahan drastis yang sangat aku suka. Siapa yang nggak suka dapat kasih sayang dari seorang mertua?
Aku melihat punggung Tirta yang terus berjalan hingga ke laboratorium untuk penyucian sperma. Cowok itu bisa menghasilkan dua ratus lima puluh juta cc sperma dalam satu kali ejakulasi. Tapi hanya ada beberapa yang kuat berjalan hingga sepuluh jam ke vagina. Jadi, dalam proses ini sperma perlu dicuci untuk bisa dipilih mana sperma yang kuat dan tidak.
Kalau sperma tidak dicuci, maka akan mengganggu tingkat keberhasilan proses.Sorry ya, no sensor for knowledge.
"Sayang," Tirta sudah kembali dari laboratorium. "Aku ke luar aja dulu ya? Mau cari makanan."
"Thalia ikut aja, kasian Tirta sendirian." itu mama, yang aku senang dengan sikapnya sekarang. biasanya dia nggak akan segan segan menyuruh Anya untuk menemani Tirta, walaupun ada aku di sampingnya. "Lagian kamu kan harus nunggu satu dua jam untuk nunggu hasil sperma Tirta."
"Mama nggak mau ikut?" tanya aku.
Mama menggeleng, "Kalau Mama ikut, nanti siapa yang hubungi kamu? Tenang deh, lagian juga kalau Mama boring bisa nyebrang ke mall depan."
Aku mengangguk sambil tersenyum, dan menggandeng Tirta menuju keluar rumah sakit. Dokter Ali menyarankan pasangan sebelum melakukan inseminasi untuk terlihat lebih santai dan relax. Tirta selalu tau mana tempat yang aku suka dan enggak. Pokoknya dia tau banget mana selera yang cocok untukku dan nggak. Sekarang dia mengajakku ke lesehan,
"Kamu nggak makan?" tanyanya sambil melahap nasi yang dipesan. Maklum, baru melakukan penyucian sperma yang menurutnya menguras tenaga.
Aku menggeleng, "Kenyang Mas." jadi aku cuma menatap Tirta makan. "Mama kok berubah ya Mas?"
Bukan maksud aku untuk curiga, tapi perubahannya mendadak. Kayak di novel, alurnya tiba tiba nggak nyambung dan tanpa sebab akibat. Gaulnya penulis sih, plothole.
"Seneng aja kali Sayang, kita bakal punya anak." suami yang selalu santai.
Aku mengangguk, memang aku senang. Belakangan ini selama kontrol, mama yang temani aku. Hubunganku dengan Anya juga baik baik saja, nggak seperti sebelumnya yang selalu pasang muka sungkan dan tegang.
Tiba tiba ada telpon dari mama setelah kita agak sedikit bersantai. Panggilanku akan segera tiba, katanya.
_____
Aku memasuki ruangan yang langsung disambut oleh para medis. Artficial Inseminationnya akan segera dimulai.
Dipojok sana, ada juga sepasang suami istri yang berpakaian medis lengkap dan mereka tersenyum padaku. Aku ya balas senyum aja, mungkin mereka juga merasakan hal yang sama.
"Mari Bu, kita mulai. relax ya." suster menginstruksi untuk berbaring. Kemudian ia memasang spekulum atau alat penyanggah ke dalam vagina untuk memudahkan kateter masuk.
"Dokter Ali kemana Dok?" tanyaku ke dokter wanita yang name tagnya tertulis Damara.
Sambil mempersiapkan kateter, Dokter Damara menjawab, "Bagian ini saya yang atasi Bu."
Aku mengangguk paham, memaklumi. Soalnya kalau di medis, jika aku berkonsultasi sama Dokter Ali, maka Dokter Ali lah yang mengatasi. Mungkin aku baru paham aja, ini kan pertama kali percobaan dengan inseminasi.
Dokter Damara memasukkan kateter, alat seperti selang kecil ke dalam vagina. Butuh waktu sepuluh hingga lima belas menit lah. Setelah itu, baru ada efek. Kayak aku yang langsung kram di perut.
"Dua minggu lagi, cek kehamilan ya. Jaga kesehatan, jangan sampai stress. Yang sepeeti itu juga menentukan tingkat keberhasilan. "Dokter Damara memberikan resep obat yang harus ditebus, "Semoga lancar ya."
Aku tersenyum dan mengucapkan terimakasih. Lalu Tirta mendorong kursi rodaku berjalan. Dia selalu sigap, tahu aja resikonya kalau aku bakal kram.
_____
"Kamu istirahat dulu ya? Mau apa?" Tanya Tirta setelah setelah membaringkan tubuhku.Aku menggeleng pelan, "Nggak ada kok Mas. Kamu kalau lagi nggak sibuk ya temani aku disini."
Tirta mengangguk dan mengambil laptopnya. Dia masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Aku sih memang nggak ngerti sama sekali pekerjaannya, jadi ya nggak bisa bantu. Kalau bisa, pasti aku sudah bekerja di perusahaan dia.
Tiba tiba perutku sakit sekali hingga mencengkram tangan Tirta kuat. Rasanya ya sama kayak magh kambuh.
"Gimana Sayang?" Wajah Tirta berubah khawatir. Ia mencari cara agar keluhanku tidak menjadi. Karena memang cowok nggak ngerti ya, ia panggil mama.
"Kenapa?" Mama memasuki kamar dengan ekspresi bertanya tanya.
"Perut Thalia sakit nih Ma, harus digimanain coba?" Tanya Tirta.
"Bentar." Mama keluar kamar dan balik lagi membawa air hangat yang ditaruh di gelas dan botol. "Coba minum ini dulu deh."
Tirta menegakkan posisiku hati hati, dan mengambil air gelas yang mama beri.
"Kamu pegang ini Tirta, taruh di perut Thalia." Mama memberi botol air panas kepada suamiku yang langsung ia taruh di perut setelah menyingkap bajuku. "Kalau orang kuno dulu, pakai cara begini untuk meredakan kram di perut. Coba aja dulu ya, mama keluar."
Kok mama pergi? Aku pengen diurus mama, tapi sulit rasanya.
Tirta mengusap keningku yang berkeringat dan mengucur rambutku.
Selama ini Tirta selalu ada, dan aku nggak pernah bisa bayangin ketidak adaannya dia.
Dan kekhawatiran ku benar benar terjadi di kejadian selanjutnya. Peristiwa yang nggak pernah aku duga, akan kehilangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daily Journal
General FictionIts my Ramadhan Writing Challenge, actually. Sepertinya bisa dilanjutkan ke novel. Kehidupan rumah tangga itu jangan dipandang enaknya doang. Nggak tau aja, ada aral yang melintang sampai titik konflik penceraian ada. Jika proses medis nggak bisa me...