15. Ditembak

3K 280 29
                                    

Bulu mata lentik itu bergerak-gerak pertanda sang pemilik akan segera terjaga. Perlahan kelopak matanya mulai terbuka dan saat seberkas cahaya masuk ke dalam iris cokelatnya, kelopak indah itu mengerjap menyesuaikan cahaya yang masuk.

Hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit berwarna putih. Bau obatan yang menyapa pun memang sudah akrab dengan indra penciumannya. Ia tahu betul sedang berada di mana saat ini.

Gadis itu mengernyit saat ia merasakan sedikit rasa sakit di bagian leher sebelah kanannya saat ia berusaha menoleh pada sumber suara yang samar-samar didengarnya. Perlahan ia mengangkat tangan dan memegangi lehernya yang sudah dipasangi perban.

"Tidak lebar." Pikirnya.

Lalu pandangannya tertuju pada kedua punggung tangannya yang tak dipasangi infus.

"Kenapa tidak terpasang?"

Gadis itu mendudukkan tubuhnya dengan perlahan. Bola matanya bergerak mencari-cari apakah ada alat medis yang sekiranya terpasang di tubuhnya.

Ingatannya kembali pada tragedi menyeramkan itu.

"Bukankah sangat parah?"

Ya, menurut perhitungannya jika nyawanya tidak melayang maka setidaknya dia koma.

"Lalu mengapa hanya seperti ini?"

"Jadi kau tidak senang bisa bangun secepat ini?"

Suara yang berasal dari pria yang sejak tadi mengamatinya dalam diam di ruangan itupun akhirnya bersuara.

"Bagaima-

Ucapannya terpotong saat pintu ruang inapnya terbuka menampilkan beberapa orang yang sangat dikenalinya.

Seorang gadis berhijab berlari ke arahnya dan berhambur memeluknya, "oh finally, Jo. Akhirnya kau sadar juga."

Joanna tak membalas pelukannya, dia masih mencoba mencerna situasi. Lalu tanpa sengaja tatapannya terhenti tepat ke arah telapak tangan kanan pria yang tadi menemaninya.

"Fathir?"

"Baru sadar?"

"Babang Fathir yang menyelamatkanmu. Dia langsung menerjang penjahat berbadan tinggi besar itu begitu melihat kau pingsan."

"Tapi sayang, telapak tangannya tertusuk gunting saat pria itu melakukan perlawanan."

"Bukannya aku?"

"Hadeuh. Kami memang sempat mengira lukamu parah, apalagi kau sampai tak sadarkan diri. Beruntung lehermu hanya tergores."

"Bahkan tidak sampai dijahit."

Joanna menghela kemudian ia mengalihkan pandangannya ke arah Fathir. "Kau baik-baik saja?"

Bukan Fathir yang menjawab, tapi Tama-lah yang membuka mulut dan seperti biasa kata-katanya selalu pedas.

"Tentu saja dia tidak baik-baik saja. Kau lihat luka itu?" Joanna mengangguk dengan wajah bodohnya, "itu perih dan nyeri Joanna Siregar."

A Unique Girl for The Playboy (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang