Malam itu, langit pekat sekali. Warnanya hitam atau biru donker, itu bukan suatu kepastian sebab kebenaran bisa berbeda tergantung siapa yang bicara. Bahkan Taehyung dan Jungkook sedang memperdebatkannya, membuang waktu sekali.
Tidak perlu di ambil pusing. Tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk berpikir atau bertanya-tanya apakah langit malam itu biru donker atau hitam. Kita cukup tau, langit yang gelap menunjukkan bintang yang bersinar bertaruh terangnya satu dengan lainnya. Bintang yang jaraknya berjuta tahun cahaya mampu menunjukkan presensinya. Meskipun saat itu presensinya itu hanya sebuah cahaya atau benar-benar ada. Kita cukup menikmati saja.
"Hentikan perdebatannya Jungkook-ah, Taehyung-ah!! Kalian itu seperti anak kecil saja. Akan lebih bermanfaat membantuku membawa beberapa makanannya." Seokjin memandang sinis dua adik paling muda. Memang sudah biasa sih teman-teman seperjuangannya itu aneh, tapi setiap kali memperhatikan semakin diluar nalar saja. Kadang sampai terpengaruh untuk memikirkannya, jadilah sama-sama anehnya.
"Jimin hyung saja tidak membantu kok!" Jungkook menunjuk Jimin yang damai menikmati sinar bintang dan sabit bulan. Jimin mengambil jarak sedikit jauh untuk memperhatikan benda-benda langit itu. Tidak untuk menjadi melankonis sih, hanya saja melihat benda itu lebih mebuat tenang katanya. Oleh sebab itu Jimin mengusulkan piknik di rooftop saja. "Jimin hyung bahkan sangat tenang sampai-sampai tidak sadar udara dingin sekali untuk seukuran pakaian kaos tanpa mantel hangat."
Taehyung dan Seokjin lantas menoleh arah pandang pada objek yang Jungkook tunjukkan. Benar saja, Jimin hanya memakai kaos hitam polos dengan celana training salah satu brand yang pernah mereka bintangi. Style sederhana diwaktu dan suasana yang tidak tepat.
"Astaga, tiga dari kalian memang tidak ada yang normal." Seokjin menggelengkan kepalanya.
"Taehyung-ah! Ambil mantel untuk sahabatmu itu, atau dia akan mati beku disana. Dan Jungkook-ah, bantu hyungmu ambil makanan. Tanya saja pada Hoseok apa saja yang akan dibawa. Hyung akan menyusul kebawah setelah menata makanan ini."
Taehyung dan Jungkook melenggang menuju tangga di pojok kanan.
"Ah, Jungkook-ah jangan lupa kompor portable juga!"
Jungkook kemudian mengacungkan jempol tangan kanannya sebelum benar-benar tenggelam di tangga. Seokjin kemabali merapikan meja untuk menyajikan makanan serta menyeret beberapa kursi lipat yang memang sudah ada disana. Hanya tinggal mengaturnya saja. Belum selesai merapikan, Seokjin mengalihkan perhatiannya pda satu-satunya adik yang terjangkau inderanya, Jimin.
"Jimin-ah!"
"Hyung!"
Anak itu menoleh dengan senyum sabitnya, manis sekali. Setelah berapa tahun berlalu, senyum sabit itu tetap menjadi salah satu favorit bagi Jin. Senyum itu memberi efek bahagia bagi Seokjin sebab senyum itu ditunjukkan tulus dan secara cuma-cuma.
"Ada yang sedang kamu pikirkan? Fokus sekali sampai tidak sadar udara dingin sekali dengan tanpa mantel." Seokjin ikut memegang kaca pembatas seperti yang Jimin lakukan.
"Ah, tidak hyung. Hanya mengamati Bintang dan bulan saja. Aku sedang berpikir bila jarak bintang kecil-kecil itu jutaan tahun cahaya dari bumi, artinya kita melihat cahaya yang diberikan jutaan tahun lalu. Dan bintang itu sampai sekarang tidak tau masih ada atau sudah meledak. Kita mengagumi sesuatu yang sudah sangat lampau keberadaannya." Jimin kembali mengamati bintang yang terlihat kecil meski kenyataannya mungkin jauh lebih besar dari tempatnya berpijak.
Seokjin tidak memiliki jawaban untuk di berikan pada Jimin. Sebab yang dikatakan Jimin, dibenarkan oleh pemikirannya. Seokjin menjadi tertarik untuk ikut menyaksikan Bintang yang kata Jimin kecil-kecil itu. Sampai beberapa saat kemudian Taehyung sudah berada di antara Jimin dan Seokjin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost Equanimity
FanfictionKetakutan masih saja membayangi kendatipun kami sudah kembali bersama setelah semua badai yang membabat kami. Tiang kami kembali kokoh setelah dirobohkan dengan menggenaskan. Kembali semula. Hanya aku yang masih menyimpan sisanya. Kupikir akan leb...