BAB 7

633 53 6
                                    

Rumah bercat cream yang sudah setahun ini jarang ia sapa tampak tak banyak berubah. Salah satunya kamar berukuran sedang yang masih terlihat sama ketika terakhir ia tempati.

"Kenapa nggak datang bersama?"

Salwa menoleh ke arah pintu. "Gimana, Bu?"

"Kemarin Allan ke rumah. Bawa makanan kesukaan Ibu." Fatma, Ibu Salwa tersenyum lembut.

Salwa sendiri tak menanggapi lebih soal itu. Allan seperti sedang berusaha mempertahankan hubungan mereka. Entah walau ia sudah mengatakan tidak bisa waktu itu.

Bagaimana bisa? Bagaimana bisa ia bertahan dengan semua hal yang terlihat buram. Tanpa kejelasan yang sudah terlalu lama terkubur dalam. Allan masih abu-abu untuknya, tak terbaca, dan selalu menghilang tiba-tiba. Ketika ia meminta penjelasan, yang dilakukannya hanyalah melarikan diri. Lalu datang kembali seperti tidak ada yang terjadi.

"Kalian bertengkar?"

Salwa menggeleng. Dirinya memeluk manja Fatma layaknya anak kecil.

"Geleng-geleng tapi rembes."

"Ih Ibu."

Fatma mengusap kepala Salwa. Tak usah bertanya pun, seorang Ibu selalu bisa menebak apa yang terjadi kepada anaknya. Namun Fatma memilih bungkam. Bukan tidak peduli, namun mereka sudah cukup dewasa untuk menghadapi.

"Sayang, yang akan menjadi takdirmu, tidak akan pernah bisa kamu hindari sampai kapanpun. Jangan berusaha menyangkalnya, karena pada akhirnya hati kamu yang akan terluka."

Salwa menatap lurus ke depan. Mendengar ucapan Ibunya barusan membuat sebagian hatinya resah.

"Ibu siapin makan malam, kita makan bareng Ayah, ya." Fatma berlalu keluar kamar.

Takdir? Takdir seperti apa yang digariskan untuknya? Akan berakhir seperti apa takdirnya? Takdir yang menuntunnya bertemu dengan semua orang di kehidupan sebelumnya. Salwa takut. Hal apa yang akan ia lalui berikutnya? Bisakah ia melaluinya?

Kini pikiran gadis itu penuh dengan banyak pertanyaan. Jika memang takdirnya mengulang semua di kehidupan sebelumnya, bisakah ia mengubah akhirnya?

Salwa tidak berani membayangkan akhirnya. Namun yang sangat ia syukuri di kehidupan ini adalah dua orang terkasihnya masih ada bersamanya. Setidaknya, ia masih memiliki tempat untuk pulang.

🍁🍁🍁

"Bagaimana pekerjaan kamu?"

"Ayah, jangan bahas kerjaan di rumah dong," keluh Fatma.

Pria paru baya yang sedang menyantap makanan itu tertawa kecil. "Baik-baik aja sama Allan, Kak?"

Salwa tersenyum tipis melihat Ibunya mendelik ke arah Tio, Ayahnya.

"Loh, Ayah salah lagi, Bu?"

"Ayah ini nggak peka." Ibunya berbisik, namun tetap bisa ia dengar.

"Kami... Baik-baik aja, Yah." Salwa berkata tanpa ekspresi.

"Kak, kamu satu-satunya yang Ayah punya. Jangan ragu untuk bicara apapun yang mengganggu Kakak, ya?"

Salwa mengangguk pasti. Senyumnya lebar namun matanya berkaca-kaca.

"Kamu menginap, kan?" Fatma bertanya, mencoba mengalihkan pembicaraan tadi.

"Maaf, Bu."

Fatma mengangguk paham. "Ibu bawakan makanan jadi ya. Kamu tinggal angetin buat sarapan besok."

"Sayang Ibu, deh." Salwa nyengir.

Tio berdeham.

Salwa tertawa. "Ayah juga."

I'm Done 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang